“Pidato Prabowo memang akan dicatat, setidaknya sebagai pengingat bahwa diplomasi Indonesia pernah begitu idealis di era ayahnya. Pertanyaannya: apakah sang anak akan benar-benar melanjutkan tradisi perjuangan, atau sekadar menjaga tradisi pidato keluarga di panggung dunia?”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato di Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada Selasa, 23 September 2025. Kehadiran ini diklaim sebagai momen “bersejarah” karena disebut-sebut mengulang jejak ayahandanya, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang pernah berjibaku dengan Belanda di forum dunia pada 1948–1949.
Bedanya, dulu Sumitro mengirim memorandum ke Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett hingga dimuat The New York Times, sementara sekarang sang anak dipastikan masuk daftar pembicara urutan ketiga, setelah Presiden Brasil Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat.
Baca Juga : Jaksa Mundur, Gibran Hadapi Gugatan Rp125 Triliun Sendirian
Pendiri FPCI Dino Patti Djalal menyambut kehadiran Prabowo sebagai “tradisi keluarga pejuang diplomasi”. Dengan kata lain, diplomasi kini resmi menjadi warisan turun-temurun, layaknya bisnis atau perkebunan keluarga.
“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat memperjuangkan multilateralisme,” kata Dino, meski kenyataannya multilateralisme global sendiri sedang sekarat.
Kilas balik, Sumitro pada 1949 menggalang solidaritas Asia di India untuk menghentikan agresi Belanda. Hasilnya: pengakuan kedaulatan Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar. Kini, di tahun 2025, publik berharap pidato Prabowo setidaknya bisa menghasilkan lebih dari sekadar headline media internasional walau yang paling cepat terlihat biasanya hanya pujian protokoler.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”