Kepala Puskesmas Cipatujah, Cepi Anwar, mengaku kewalahan. “Agak kelabakan, agak banyak, jadi nyicil datangnya,” ungkapnya. Bahkan enam siswa harus dialihkan ke Puskesmas Bantarkalong.
Wakil Bupati Tasikmalaya, Asep Sopari Alayubi, buru-buru menenangkan publik. “Semua pihak harus memperbaiki standar pelayanan MBG,” katanya. Kalimat yang mungkin sudah akrab di telinga publik: evaluasi datang lebih cepat daripada perbaikan nyata.
Gelombang Ketiga: SMPN 3 Banjar, Ayam Suwir Ajaib
Tak kalah heboh, SMPN 3 Banjar menyumbang 68 siswa sebagai pasien dadakan. Seorang siswa, Denisa, menceritakan gejalanya muncul tak lama setelah menyantap MBG. “Ayam suwirnya aneh, enggak ada rasa,” katanya.
Guru SMPN 3 Banjar, Diandini, menyebut sekolahnya menerima 800 paket MBG. “Sudah diingatkan, kalau was-was jangan dimakan. Ada ayam yang bau, ada yang enggak,” ujarnya. Sayangnya, sebagian siswa sudah telanjur jadi “tester tanpa kontrak.”
Ambulans sibuk mondar-mandir membawa siswa ke RSUD Banjar, PMC, dan Mitra Idaman. Diandini hanya berharap insiden ini tak membuat siswanya trauma makan gratis.
Kasus keracunan MBG kali ini bukan yang pertama, dan boleh jadi bukan yang terakhir. Dari Pangandaran sampai Banjar, pola kejadiannya sama: siswa lapar, makan gratis, lalu sakit berjamaah. Program yang dimaksudkan untuk menyehatkan, ironisnya justru menguji ketahanan fisik.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”