“Apakah air mata di ruang sidang bisa mencuci dosa korupsi sebesar Rp40 miliar atau hanya jadi pelumas baru untuk drama integritas berikutnya.”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Sidang kasus dugaan suap antar-hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta mendadak berubah jadi drama air mata. Hakim Effendi, yang memimpin sidang, terlihat menitikkan air mata saat mengadili koleganya sendiri, Hakim Djuyamto dan kawan-kawan.
“Selama saya jadi hakim, inilah persidangan paling berat,” ujarnya dengan suara bergetar mungkin karena ingat masa-masa indah diklat bareng di Cinere, atau karena nominal suapnya mencapai Rp40 miliar, setara 13.000 bulan gaji honorer.
Suasana sidang lebih mirip reuni alumni pengadilan negeri ketimbang sidang korupsi. Ada nostalgia, kisah dibenamkan marinir di Ancol, dan tentu saja rasa tidak percaya mengapa teman seangkatan kini duduk di kursi pesakitan, bukan di kursi majelis.
“Jujur, suasana ini tidak saya inginkan,” kata Effendi.
Publik pun ikut tersentuh. Ya, siapa sih yang mau mengadili teman yang dulu bareng makan di kantin PN Pekanbaru, meski sekarang teman itu makannya dari uang korporasi sawit?
Terdakwa Djuyamto juga sempat menangis. “Saya yang menghancurkan karier saya sendiri,” ujarnya.
Sebuah pengakuan jujur yang jarang terdengar dari pejabat di negeri ini biasanya mereka masih sempat menyalahkan tim sukses, cuaca, atau “kesalahpahaman publik”.
Sidang ditunda hingga Rabu depan, bertepatan dengan momen setelah Hari Sumpah Pemuda. Tepat sekali waktunya: satu hari setelah anak muda bersumpah untuk jujur, para hakim diuji apakah masih ingat dengan sumpah jabatannya sendiri.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”