Jonan bertemu Prabowo selama dua jam durasi yang cukup untuk membahas masa depan bangsa, tapi katanya tak sepotong kata pun soal Whoosh.
“Enggak, enggak bahas kereta cepat. Enggak diminta masukan kok,” ujarnya, menutup mulut rapat-rapat seperti jendela gerbong di malam hujan.
Baca Juga : Purbaya: “Saya Baru Tahu, Menteri Keuangan Itu Lumayan Berkuasa”
Sebaliknya, ia bicara soal program-program kerakyatan: makan bergizi gratis, koperasi desa, dan diplomasi luar negeri.
Diskusi, katanya, “hanya itu saja, enggak ada yang lain.”
Barangkali memang benar. Tapi di luar sana, publik tahu: di negeri ini, “tidak membicarakan” justru sering berarti “sedang membicarakan dengan sangat serius.”
Bagi yang lupa, Jonan adalah orang pertama yang menolak proyek ini ketika menjabat Menteri Perhubungan. Ia menilai Jakarta–Bandung terlalu pendek untuk kereta cepat.
“ seperti menyalakan jet untuk menyeberang selokan,” katanya dulu.
Ia juga menolak penggunaan APBN, menolak izin trase yang tidak sesuai regulasi, menolak konsesi 50 tahun yang kini malah jadi 80, singkatnya, Jonan menolak semua hal yang kini terbukti membuat proyek ini megap-megap.
Dan ketika Jokowi meletakkan batu pertama groundbreaking pada 2016, Jonan tak hadir.
Kementeriannya bilang, ia sedang sibuk mengurus perizinan, publik tahu, kadang absen adalah bentuk kehadiran paling jujur.
Kini, proyek yang dulu disebut “ikon kemajuan” itu justru jadi berita duka fiskal, konsorsium BUMN Indonesia, lewat PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), menanggung rugi Rp 4,19 triliun pada 2024, atau sekitar Rp 11,5 miliar per hari. Bahkan di semester I 2025, kerugian masih lanjut Rp 1,62 triliun.
KAI, pemegang saham terbesar (58,53%), kini ikut menanggung napas berat Whoosh mungkin bukan hanya secara keuangan, tapi juga moral.
Karena kereta ini bukan cuma cepat, tapi juga cepat menggerus neraca.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














