LOCUSONLINE, GARUT – Garut pagi itu tampak gagah. Barisan pasukan berseragam berdiri rapi di Lapangan Sekretariat Daerah, bendera berkibar, sirene bergaung. Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Garut menggelar Apel Gelar Pasukan Siaga Tanggap Bencana Hidrometeorologi dan Gempa Bumi Tahun 2025. Kapolres Garut, Yugi Bayu Hendarto, memimpin apel dengan khidmat. Semua tampak siap. Setidaknya, di atas kertas.
Kapolres mengingatkan, Garut ini wilayah rawan bencana. Lengkap dari banjir, tanah longsor, puting beliung, sampai gempa. Alam seolah menjadikan Garut sebagai laboratorium ketahanan sosial. Tapi entah kenapa, setiap kali bencana datang, pola respons kita masih seperti sinetron yang diulang: dramatis di awal, ramai di tengah, sepi di akhir.
“Apel ini bukan hanya ajang simulasi teknis, tapi juga bentuk nyata komitmen membangun kesiapsiagaan,” kata Kapolres dengan nada tegas.
Kalimatnya tepat. Tapi di lapangan, kesiapsiagaan sering kalah cepat dari notifikasi grup WhatsApp warga yang baru aktif setelah listrik padam dan air sudah masuk dapur.
Baca Juga : Jabar Siaga, Radar Baru Siap, Tapi Akal Sehat Masih Sinyal Lemah
Dari podium, disampaikan tiga harapan besar: peran jelas antarinstansi, komunikasi efektif, dan respons cepat. Harapan yang bagus. Tapi dalam praktik birokrasi Indonesia, tiga hal itu kadang terasa seperti mitos. Karena kalau koordinasi antar lembaga sudah bicara “tupoksi” dan “surat menyurat resmi”, maka kecepatan biasanya langsung dikorbankan di altar administrasi.
Abud dari BPBD menambahkan dasar hukum kegiatan ini. Mulai dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, hingga Surat Keputusan Bupati tentang status siaga darurat yang berlaku sampai April 2026. Artinya, Garut kini resmi dalam masa “waspada panjang”. Semoga kewaspadaannya juga ikut panjang, bukan cuma masa berlaku suratnya.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














