Dari hasil penyelidikan awal, terduga pelaku bukan orang luar, bukan ninja misterius, tetapi salah satu siswa. Fakta ini membawa satu pesan pahit: masalah psikologis remaja dan radikalisasi digital mungkin jauh lebih dekat dari yang dipikirkan para orang tua yang sibuk menanyakan nilai matematika.
Kasus SMAN 72 ini memunculkan refleksi pahit:
- Masjid jadi TKP.
- Taman Baca ikut kena imbas.
- Bank Sampah juga kena padahal tidak pernah memalak siapa pun.
Lebih ironis lagi, ledakan bom kini terjadi di sekolah tempat yang seharusnya hanya memproduksi PR, bukan pressure wave.
Investigasi masih berjalan. Publik berharap jawabannya segera muncul dan sistem pengawasan sekolah diperkuat, agar halaman sekolah kembali dipenuhi suara lonceng dan gebrakan OSIS bukan dentuman yang membuat satu kota terpaku.*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














