Rapat ini jadi ajang saling memastikan bahwa tata ruang Purwakarta ke depan tidak berubah jadi gelanggang konflik.
Abang Ijo menggarisbawahi lumbung mimpi Purwakarta: jadi pusat industri yang ramah lingkungan, jadi sentra pertanian produktif, sekaligus tujuan wisata yang tetap nyaman. Semua itu dibungkus nilai budaya Sunda dengan prinsip Tri Tangtu Di Buana.
Artinya, pembangunan harus seimbang meski dalam praktik, sering kali yang seimbang cuma anggaran rapat.
Pengamat tata ruang Dr. R. Wirawan menyebut perjalanan RTRW dari 2017 sampai kini menunjukkan evolusi penting: dari fokus industri ke fokus keberlanjutan. Mulai melindungi lahan pertanian, mengelola air, merencanakan hutan kota, sampai menata kawasan wisata.
“Tanpa koordinasi yang rapi, tata ruang bisa jadi sumber ribut tak berkesudahan,” ujarnya. Pernyataan yang terasa seperti spoiler untuk banyak daerah lain.
Dengan sepakatnya substansi Raperda RTRW, Purwakarta sekarang punya modal. Tinggal implementasi bagian yang biasanya bikin banyak rencana megap-megap.
Kalau benar dijalankan, Purwakarta bisa tumbuh maju, mandiri, sejahtera. Kalau tidak, RTRW ini hanya akan jadi dokumen tebal yang dipajang cantik di rak kantor.
Untuk sekarang, rakyat menunggu. Dan RTRW 8 tahun ini pun masih menantikan status: dari “proses” menjadi “sah digunakan.”*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














