Namun tidak semua peserta rapat mau menyalahkan internet. Pelaksana Tugas Dirjen Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, mengatakan internet itu netral. Game kekerasan? PUBG? Menurutnya itu bisa jadi jalan karier jika literasi digital anak kuat. Masalahnya, banyak orangtua justru menjadikan gadget sebagai babysitter, bukan ruang belajar bersama.
Alexander menegaskan literasi digital adalah PR kolektif. Orangtua tidak boleh lebih gaptek dari anaknya. Internet memang bisa menjerumuskan, tapi juga bisa mengangkat. Ia mengingatkan bahwa ribuan anak sukses lewat jalur digital bukan cerita baru.
Senada dengan itu, Kak Seto menambahkan: internet adalah alat. Bisa jadi guru, bisa jadi jebakan. Dari belajar bahasa asing sampai dalang cilik yang berlatih lewat YouTube, semuanya mungkin. Yang hilang adalah pendampingan.
Menurutnya, literasi digital sama pentingnya dengan pendidikan moral dasar, seperti membedakan pergaulan sehat dan yang toksik. Anak seharusnya dibekali kemampuan memilah konten, layaknya mereka belajar memilah teman.
Dari internal pemerintah, Kemendikdasmen akhirnya mengambil posisi tengah. Melalui Inspektur I Subiyantoro, kementerian berjanji menyederhanakan regulasi pencegahan kekerasan di sekolah, karena aturan yang ada sudah seperti mie instan banyak bumbu, tapi tetap tidak kenyang. Guru juga akan dilibatkan lebih serius dalam bimbingan konseling, tidak hanya guru BK, tapi semua yang bisa jadi tempat anak bercerita.
Pemerintah, ahli, dan lembaga perlindungan anak sepakat pada satu hal: sekolah sudah berubah. Dari tempat belajar menjadi arena bertahan hidup. Dan jika negara tidak memperbaiki pondasi, bukan tidak mungkin angka-angka ini hanya bab pembuka, bukan klimaks.*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














