“Mereka nggak punya satupun dokumen dasar SK itu. Masa bisa teken SK tanpa modal selembar kertas pun? Yang main di balik layar siapa?” katanya.
Tak hanya Disperkim, ATR/BPN Garut pun disebut kaget ketika mengetahui langsung kondisi penerima redistribusi versi lapangan.
“Awalnya BPN mengira SK itu sudah melalui proses valid. Setelah kami sampaikan data lapangan, mereka kaget,” ungkapnya.
Tak sampai di sana, Asep menyebut telah menemukan bukti kwitansi setoran uang dari sejumlah calon penerima tanah kepada oknum perangkat Desa Tegalgede.
“Padahal, semua biaya redistribusi tanah sudah dibiayai DIPA. Jadi uang ratusan ribu yang dipungut itu buat apa?” ucapnya.
Jika dihitung, dari 600 penerima dikali pungutan Rp700 ribu, jumlahnya mencapai Rp420 juta. Angka yang cukup besar untuk sebuah program yang seharusnya gratis.
Asep menilai, jangan sampai konflik antarwarga justru “diciptakan” oleh SK yang dianggap tidak objektif.
“Masyarakat cuma minta pendataan yang benar dan terbuka. Dahulukan penggarap asli, sesuai amanat Perpres. Itu saja,” kata Asep.
Ia juga meminta Bupati Syakur segera mengundang penggarap, GTRA, Pemerintah Desa, dan BPN dalam forum terbuka.
“Jangan tunggu situasi meledak. Semua pihak butuh ruang bicara sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Tegalgede Dona dan Kepala Kantor BPN Garut Eko Suharno belum memberikan komentar meski dihubungi melalui pesan WhatsApp.*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














