[locusonline, Jakarta] – Seperti ritual bulanan yang tak menyenangkan, para pengendara di Indonesia kembali merogoh kocek lebih dalam di awal bulan. Bukan untuk belanja kebutuhan atau bayar cicilan, melainkan untuk “membayar” kenaikan harga BBM nonsubsidi yang berlaku serentak mulai hari ini.
Pertamina resmi menaikkan harga Pertamax, Pertamax Turbo, hingga Pertamina Dex dengan kenaikan Rp500–Rp800 per liter. Namun, yang menarik perhatian adalah aksi “kompak” SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo yang juga menyesuaikan harga dalam waktu berdekatan, menciptakan kesan “gerak serempak” yang kerap disinyalir konsumen.
“Memang sudah formula. Tapi kok semuanya naik bersamaan, persis di tanggal satu? Seolah-olah sudah ada komplotan kasih kado pahit di awal bulan,” keluh Andi, seorang pengendara mobil di Jakarta, setengah bergurau.
Daftar ‘Kado’ dari Setiap SPBU
“Kado” kenaikan harga ini datang dalam berbagai nominal:
- Pertamina: Pertamax naik ke Rp12.750 (naik Rp550), Pertamax Turbo ke Rp13.750 (naik Rp650), dan Pertamina Dex menembus Rp15.000 per liter.
- Shell & BP-AKR: Kompak menjual BBM RON 92 di harga Rp13.000, dan varian premiumnya seperti Shell V-Power dan BP Ultimate di Rp13.630 per liter.
- Vivo: Mengikuti “arisan” dengan menaikkan Revvo 92 ke Rp13.000.
Sementara itu, Pertalite dan Solar subsidi dengan setia bertahan di Rp10.000 dan Rp6.800 per liter, bagai dua pahlawan yang mencoba menahan amukan inflasi namun dengan antrean panjang sebagai konsekuensinya.
Analisis: Koinsidensi atau Kolusi?
Pertanyaan yang muncul: apakah ini bentuk kolusi harga? Secara regulasi, jawabannya cenderung tidak. Kenaikan ini berdasar pada Kepmen ESDM No. 245.K/2022, di mana harga BBM nonsubsidi ditentukan oleh formula berbasis harga minyak mentah dunia (MOPS) dan kurs rupiah. Saat komponen acuan naik, semua pemain terkena imbas yang sama secara simultan.
“Yang terlihat seperti ‘komplotan’ ini sebenarnya adalah efek dari regulasi yang kaku dan formula yang seragam. Mereka semua membaca dari buku pedoman harga yang sama,” jelas Faisal Basri, ekonom senior.
Namun, koinsidensi waktu di awal bulan—saat daya beli masyarakat seharusnya sedang ‘segar’—memang terasa seperti rencana yang kurang lebih bersahabat. Kenaikan ini juga terjadi di tengah pemulihan stok SPBU swasta yang masih timpang-timpang, di mana banyak outlet masih kekurangan stok varian tinggi namun tetap menaikkan harga untuk produk yang ada.
Dampak: Dompet Tipis dan Antrean Panjang
Dampak langsungnya dua lapis. Pertama, penyusutan daya beli bagi pengguna kendaraan berbahan bakar nonsubsidi, terutama sektor logistik dan usaha menengah. Kedua, pergeseran massal ke SPBU yang menjual Pertalite, berpotensi memperparah antrean dan memperbesar beban subsidi pemerintah.
“Kami terpaksa pilih Pertalite. Lebih baik antre 30 menit daripada langsung jebol Rp100 ribu cuma untuk isi bensin,” ucap Sari, pengusaha catering yang menggunakan dua mobil.
:: Sebuah ‘Kebersamaan’ yang Dipaksakan
Kenaikan serentak 1 Desember ini adalah gambaran sempurna dari paradoks pasar BBM Indonesia: persaingan yang ada hanya di warna pompa dan seragam petugas, bukan di harga. Konsumen terjebak dalam pilihan yang semakin sempit: antre untuk harga terjangkau, atau langsingkan dompet untuk kepraktisan.
“Kado pahit” ini mungkin sah secara regulasi, namun tetap terasa pahit di lidah konsumen yang setiap bulan harus menyaksikan “kebersamaan” para pemain SPBU dalam hal menaikkan harga, sementara “kebersamaan” dalam hal menstabilkan pasokan atau inovasi layanan masih kerap menjadi janji belaka. Di tengah situasi ini, Pertalite Rp10.000 bukan lagi sekadar bahan bakar, melainkan menjadi simbol penahan arus kenaikan harga—sebuah simbol yang semakin berat digantungkan pada pundaknya. (**)













