[BANDUNG, Locusonline.co] – Kota Bandung berhasil meraih penghargaan bergengsi Green City Transformation Award, sebuah pengakuan nasional atas komitmen dan terobosan dalam mengelola persoalan sampah perkotaan yang kronis. Penghargaan ini diterima langsung oleh Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, yang dalam kesempatan itu secara blak-blakan membeberkan realita dan strategi perang melawan timbunan sampah kota.
Dengan gaya khasnya yang santai dan penuh humor, Farhan membuka penerimaan penghargaan ini sebagai momen langka. “Saya termasuk orang yang jarang menerima anugerah. Terakhir tahun 2001. Selebihnya selalu tim yang dapat. Jadi ini cukup istimewa,” ucapnya disambut tawa audiens yang terdiri dari tokoh media, perwakilan kementerian, dan undangan.
Namun, di balik candaannya, Farhan memaparkan data keras yang menjadi tantangan harian Bandung. Berdasarkan data pemerintah pusat, tim bul an sampah Kota Bandung mencapai 1.492 ton per hari. Sementara, kapasitas pengangkutan dan pengolahan yang ada baru mampu menangani 981 ton.
“Artinya, ada 510 ton sampah yang ‘tertinggal’ di dalam kota kita setiap harinya. Itulah fakta pahit yang harus kita hadapi bersama,” tegas Farhan.
Maraton Pengelolaan Sampah: Dari 510 Ton ke 340 Ton
Sejak Maret 2025, Pemerintah Kota Bandung melakukan perbaikan sistem secara masif. Hasilnya mulai terlihat: sekitar 250 ton sampah per hari kini berhasil dipilah, diolah, dan dimanfaatkan. Namun, perjuangan belum usai. “Masih ada sisa 340 ton yang belum tertangani penuh. Ini bukan lari sprint, tapi maraton,” kata Farhan, menegaskan bahwa transformasi adalah proses berkelanjutan.
Strategi Revolusioner: “Pasukan Hijau” hingga ke Rumah Warga
Kunci strategi Bandung terletak pada penguatan pasukan di garis depan. Saat ini, sudah ada 870 penyapu jalan dan 1.800 GoBer (Petugas Kebersihan RW) yang menjadi ujung tombak.
Rencana yang lebih ambisius akan dimulai tahun 2026: merekrut 1.597 Petugas Pemilah Sampah, satu orang untuk setiap RW di Bandung. Tugas mereka langsung turun ke lapangan: mendatangi rumah warga, memastikan pemilahan sampah organik dan anorganik dilakukan dengan benar.
“Nanti akan ada yang mengetuk pintu, ‘Punten Bu, mana sampah organiknya? Yang non-organik tinggalin, nanti ada yang ambil.’ Itu akan menjadi kebiasaan baru di Bandung,” ujar Farhan menggambarkan sistem yang personal dan edukatif. Jika seluruh rencana berjalan, total akan ada lebih dari 4.250 personel yang secara aktif menjaga kebersihan kota setiap hari.
Teknologi Pendukung: Dari Insinerator hingga Biodigester Pasar
Farhan menekankan, pertempuran melawan sampah tak bisa hanya mengandalkan truk dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kota Bandung sedang membangun 30 unit insinerator berkapasitas 10 ton serta mengadopsi teknologi seperti roller dryer untuk sampah organik.
Terobosan signifikan juga dilakukan di sumber sampah terbesar: pasar tradisional. “Di Pasar Gedebage, ada 8 ton sampah, terutama dari kulit pisang, yang muncul setiap hari. Sekarang, jam 12 siang semuanya sudah hilang—terolah habis,” jelas Farhan. Fasilitas biodigester di pasar-pasar seperti Gedebage dan Sarijadi mengubah sampah organik menjadi energi dan kompos.
Perang Persepsi: Komunikasi Publik Sama Pentingnya dengan Teknologi
Di akhir paparannya, Farhan menyentuh aspek non-teknis yang krusial: persepsi publik. “Sampah bukan hanya soal fisik, tapi juga soal persepsi. Bau sedikit, publik protes. Karena itu, komunikasi publik sama pentingnya dengan membangun insinerator,” tuturnya.
Ia pun secara khusus mengajak PRMN dan seluruh media untuk berperan aktif dalam edukasi publik, mengubah pola pikir masyarakat dari sekadar membuang sampah menjadi mengelolanya sejak dari sumber.
Penghargaan Green City Transformation Award ini bukanlah garis finis, melainkan tanda pengakuan di tengah maraton panjang Bandung menuju kota yang benar-benar berkelanjutan. Dengan kombinasi strategi personal, teknologi, dan komunikasi, Bandung berusaha membuktikan bahwa mengelola sampah perkotaan bukanlah mission impossible. (**)













