[locusonline] Dalam beberapa pekan terakhir, curah hujan yang menggenang dan lereng-lereng yang jenuh telah mengubah lanskap Bandung Raya. Banjir dan tanah longsor tidak hanya meninggalkan lumpur di jalan-jalan, tetapi juga memaksa para pemangku kebijakan untuk melihat ulang cetak biru pembangunan kota yang selama ini berjalan. Di tengah siaga darurat cuaca ekstrem, sebuah sinyal keras telah diterima: alam tak lagi bisu.
Sebagai respons, Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran Nomor 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM, yang menginstruksikan penghentian sementara penerbitan izin perumahan baru di Bandung Raya. Langkah drastis ini langsung mendapatkan dukungan penuh dari Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan.
Farhan menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar jeda administratif, melainkan langkah korektif yang mendesak. “Kota Bandung harus memastikan setiap pembangunan berjalan dengan hati-hati, berbasis kajian risiko, dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Keselamatan warga menjadi prioritas,” tegasnya dalam keterangan pers, Minggu (7/12/2025). Ia menggarisbawahi komitmen untuk meninjau ulang proyek di kawasan rawan, memperketat pengawasan teknis, dan tak segan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar aturan tata ruang.
Dilema di Balik Moratorium: Antara Keamanan dan Kebutuhan
Langkah penghentian izin ini, meski lahir dari urgensi bencana, menuai dilema klasik antara pembangunan dan konservasi. Di satu sisi, tekanan untuk menyediakan hunian yang terjangkau bagi masyarakat sangat besar. Real Estat Indonesia (REI) mencatat, Indonesia masih menghadapi backlog perumahan sebanyak 9,9 juta unit, ditambah 26 juta rumah tidak layak huni.
Namun, di sisi lain, ekspansi perumahan yang tak terkendali, terutama di zona resapan dan lahan produktif, kerap menjadi bumerang. Kekhawatiran serupa tengah terjadi di Kuningan, di mana seorang anggota DPRD Jabar mendesak kajian ulang pencabutan moratorium perumahan di Kecamatan Cigugur—sebuah kawasan resapan air strategis. “Jangan ganggu lahan produktif dan kawasan resapan,” peringatnya, mengingatkan bahwa kerusakan pada area resapan bersifat permanen dan akan berdampak pada ketersediaan air jangka panjang.
Ironisnya, penghentian izin di Bandung justru terjadi ketika sektor properti nasional sedang mencoba bangkit dari keterpurukan. Data REI mengungkap potensi mandeknya investasi senilai Rp34,5 triliun hingga Rp55 triliun dari ratusan proyek akibat kompleksitas perizinan yang melibatkan setidaknya tujuh kementerian. Kebijakan baru dari Pemprov Jabar ini, meski bertujuan mulia, berpotensi menambah daftar hambatan tersebut.
Mencari Keseimbangan: Mitigasi Bukan Hanya Melarang
Lantas, apakah moratorium adalah satu-satunya jawaban? Pelaku industri dan pengamat kebijakan melihat perlunya pendekatan yang lebih holistik. Permasalahan mendasar seringkali terletak pada tumpang-tindih regulasi dan proses yang berbelit.
Ketua Umum REI, Joko Suranto, menyoroti bahwa prosedur seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk sektor perumahan kerap memakan waktu berbulan-bulan dan biaya besar. Ia mengusulkan penyederhanaan, dimana izin tertentu dapat diberikan secara otomatis jika dokumen telah lengkap dan tidak ada tanggapan dalam batas waktu yang ditetapkan. Penyempurnaan regulasi yang sedang digodok pemerintah pun diharapkan dapat menciptakan kepastian dan memperbaiki ekosistem industri.
Di tingkat teknis, solusi lain dapat diambil dari contoh Balikpapan. Alih-alih moratorium total, pemerintah setempat fokus pada pengawasan ketat terhadap fasilitas umum (fasum) dan sistem drainase di perumahan yang ada, terutama bendali pengatur aliran air, untuk meminimalkan banjir.
Jalan ke Depan: Integrasi dan Koordinasi
Dukungan Wali Kota Bandung terhadap moratorium adalah sinyal politik yang kuat bahwa pembangunan “business as usual” tak lagi bisa diterima. Namun, keberhasilan jangka panjangnya bergantung pada apa yang dilakukan selama jeda ini.
Pertama, jeda harus dimanfaatkan untuk mempercepat penyelesaian tumpang-tindih antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan peta risiko bencana dan kawasan lindung yang lebih detail. Kedua, perlu ada percepatan penyederhanaan perizinan berbasis risiko, sebagaimana usulan pelaku industri, sehingga proyek yang benar-benar ramah lingkungan dan aman dapat berjalan tanpa hambatan birokrasi.
Terakhir, dan yang paling krusial, moratorium harus menjadi pintu masuk bagi paradigma pembangunan baru di Bandung Raya. Bukan lagi pembangunan horizontal yang rakus lahan, tetapi vertical development dan revitalisasi kawasan terdalam yang memprioritaskan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan infrastruktur hijau.
Kebijakan Gubernur dan dukungan Wali Kota Farhan adalah tamparan. Tamparan untuk menyadarkan bahwa di antara target ekonomi dan tekanan sosial, ada batas ekologis yang tak boleh dilanggar. Sekarang, tugas bersama adalah memastikan bahwa jeda ini tidak berakhir menjadi sekadar pelarangan, melainkan awal dari penataan ulang yang lebih cerdas, adil, dan berkelanjutan untuk Bandung. (**)













