LOCUSONLINE, GARUT – Di tengah rumor pupuk subsidi yang konon dijual bak emas Antam, Kios Sahabat Tani di Kecamatan Kadungora memilih jalur lurus ala buku pedoman: harga sesuai HET, tak kurang, tak lebih, dan tak boleh nawar seperti beli cabe di pasar.
Sejak regulasi anyar Oktober kemarin, kios ini melayani petani penerima pupuk bersubsidi di tiga desa Kadungora, Cisaat, dan Gandamekar. Harga dibacakan perlahan seperti akad nikah: Urea Rp 1.800/kg atau Rp 90.000 per karung, Phonska Rp 1.840/kg atau Rp 92.000 per karung. Semua sama, tak ada versi “harga belakang”, “harga tetangga”, apalagi harga “jalur cepat”.
Pemilik kios, H. Dik-dik Yusup, menegaskan aturan pengambilan pupuk kini seketat ujian CPNS wajib Kartu Tani, KTP, KK, dan kalau diwakilkan harus bawa surat kuasa satu KK. Pokoknya, kalau bukan nama di kartu keluarga, jangan mimpi angkut karung.
“Kami ikuti regulasi kementerian, jadi jangan kaget kalau prosedurnya ketat,” ujar Dik-dik, Selasa, 9 Desember 2025. Bahasa sederhananya: pupuk boleh subsidi, tapi administrasi tetap premium.
Baca Juga : Menhan Ceramah Ancaman, Mahasiswa Diminta Jangan Kaget
Isu liar soal harga pupuk yang dijual di atas HET ikut mampir ke telinga Ketua P3I Kabupaten Garut, Aris, yang kebetulan sedang nongkrong di kios itu. Menurutnya, kasus seperti itu sering kali cuma miskomunikasi petani mengira harga naik, padahal yang naik hanya ongkos antar ke lahan. Logis, karena karung tidak bisa terbang sendiri.
“Kalau mau sesuai HET, tebus di kios. Kalau minta diantar, ya wajar bayar ongkos,” ujarnya, gamblang.
Intinya, pupuk tetap subsidi, proses tetap resmi, harga tetap HET. Drama hanya muncul ketika petani ingin layanan antar tapi menolak bayar ongkos. Dunia pertanian memang harus efisien, tapi sopir angkut pun punya perut yang harus diisi.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”









