[Locusonline.co, KABUPATEN BANDUNG] — Dunia warga Kampung Condong, Desa Wargaluyu, Kecamatan Arjasari, berubah menjadi sunyi yang mencekam. Longsoran material tanah dari ketinggian 80 meter lereng Gunung Sinapeul mengubur harapan dan tiga nyawa manusia. Pencarian tak bisa dilanjutkan. Alasannya? “Kondisi lapangan yang tidak lagi aman.” Sebuah penanda titik, bukan dari sebuah bencana, tetapi dari sebuah pola bencana yang berulang: tanggap darurat setelah kerusakan, bukan aksi pencegahan sebelum semuanya terlambat.
Di titik-titik lain di Kabupaten Bandung, air menjadi penguasa. Kecamatan Baleendah terisolasi, Bojongsoang dan Dayeuhkolot tenggelam dalam rutinitas banjir tahunan, dan deretan kecamatan lain menghitung kerugian yang sama. Menanggapi ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung akhirnya mengeluarkan surat sakti: Keputusan Bupati Nomor 300.2.1/KEP.731-BPBD/2025 tentang penetapan status tanggap darurat bencana, berlaku 6 hingga 19 Desember 2025.
Instrumen ini memberikan kewenangan ekstra dan akses anggaran darurat. Bupati Bandung Dadang Supriatna pun menggelar doa bersama di Masjid Al-Fathu Soreang pada Jumat (12/12), memohon perlindungan dari bencana susulan. Di luar ruang berdoa, sebuah realitas menunggu untuk diselesaikan dengan langkah yang lebih dari sekadar doa dan status darurat.
Peta Kerusakan: 14 Kecamatan Dikepung Air dan Tanah Bergerak
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat dan Kabupaten Bandung, sedikitnya 14 kecamatan di wilayah ini dilanda banjir dan longsor sejak awal Desember. Sebuah penderitaan kolektif yang tidak mengenal wilayah administratif.Jenis Bencana Kecamatan-Kecamatan yang Terdampak Dampak Utama Banjir Bojongsoang, Dayeuhkolot, Baleendah, Katapang, Pameungpeuk, Banjaran, Margaasih, Soreang Ribuan rumah terendam, akses jalan terputus (Baleendah), genangan di permukiman. Longsor Arjasari, Cangkuang, Cimaung, Soreang, Pasirjambu, Kertasari, Ciwidey Rumah tertimbun material (Pangalengan, Soreang, Cangkuang), korban jiwa dan luka-luka (Arjasari).
Bupati Dadang Supriatna, dalam berbagai kesempatan, telah menyadari bahwa pola bencana ini telah berubah. “Banjir ini bukan lagi siklus 20 tahunan. Sekarang muncul setiap lima tahun dengan curah hujan sangat tinggi,” ujarnya. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lebih keras. Kawasan seperti Dayeuhkolot dan Bojongsoang tak sekadar banjir lima tahunan, tetapi menjadi “langganan” banjir yang hampir dipastikan datang tiap musim hujan.
Antara Rp 9 Miliar dan Status Darurat: Dilema Pembiayaan Mitigasi
Ironisnya, langkah darurat yang diambil saat ini justru membutuhkan keputusan administratif yang sama: tanpa status tanggap darurat, anggaran untuk penanganan darurat tidak bisa dikucurkan. Sistem ini menciptakan paradoks di mana pemerintah daerah seolah “terpaksa” menunggu bencana besar terjadi agar bisa bertindak cepat dengan dana yang memadai.
Padahal, kebutuhan untuk mencegah atau minimal mengurangi dampak sudah lama dihitung. Pada awal November 2025, Bupati Dadang mengungkap bahwa kebutuhan anggaran untuk penanganan banjir di wilayah-wilayah kritis mencapai sekitar Rp 9 miliar. Dana sebesar itu, kata dia, diharapkan dapat dipenuhi melalui kolaborasi pentahelix yang melibatkan swasta. Namun, satu bulan kemudian, bukannya laporan keberhasilan kolaborasi, yang terdengar justru adalah keputusan penetapan status darurat.
Dalam kondisi darurat, logistik dan evakuasi menjadi prioritas. BPBD Kabupaten Bandung bersama tim gabungan mendirikan posko bantuan dan mengoordinasikan distribusi bantuan ke wilayah-wilayah yang aksesnya terputus, seperti Baleendah. Namun, pertanyaan kritis yang menggantung adalah: ke manakah alokasi anggaran mitigasi dan normalisasi sungai yang seharusnya menjadi prioritas pencegahan, jauh sebelum status darurat diperlukan?
Longsor Arjasari: Peringatan yang (Kembali) Diabaikan?
Tragedi di Kampung Condong, Arjasari, adalah potret sempurna dari kegagalan mitigasi jangka panjang. Longsor yang menewaskan warga ini dipicu oleh curah hujan tinggi yang mengguyur daerah dengan lereng labil. Wilayah seperti Arjasari, Kertasari, Pasirjambu, dan Ciwidey, yang masuk dalam kawasan perbukitan dan pegunungan, sebenarnya telah lama diketahui memiliki risiko tinggi.
Meski pencarian korban di Arjasari terpaksa dihentikan demi keselamatan petugas, Bupati Dadang menegaskan bahwa penanganan bencana ini berjalan beriringan dengan evaluasi tata ruang dan penghentian sementara izin pembangunan baru di kawasan rawan bencana. Langkah ini, meski penting, kembali terasa seperti respons setelah fakta—sebuah upaya menutup keran setelah ember penuh meluap.
Siklus yang Tak Kunjung Putus: Dari Pentahelix ke Doa Bersama
Rangkaian peristiwa ini mengukuhkan sebuah siklus yang akrab di telinga publik: kekhawatiran -> pernyataan rencana strategis (seperti pentahelix Rp 9 miliar) -> bencana terjadi -> penetapan status tanggap darurat -> penanganan darurat -> pernyataan evaluasi -> kekhawatiran baru. Siklus ini berputar tanpa pernah benar-benar memutus mata rantai penyebabnya: tata ruang yang lemah, ketidaktegasan terhadap pelanggaran di daerah resapan, dan investasi mitigasi yang kalah prioritas dibandingkan proyek-proyek lain.
Doa bersama yang digelar Bupati dan jajarannya adalah ekspresi spiritual yang patut dihargai. Namun, bagi warga yang rumahnya masih terendam atau keluarga yang kehilangan sanak saudara tertimbun tanah, yang mereka tunggu bukan hanya perlindungan dari langit, tetapi juga kebijakan yang konkret, berkelanjutan, dan berani dari pemerintah bumi. Mereka menanti janji “penanganan bertahap dan berkelanjutan” di Kelurahan Gumuruh dan wilayah lain, tak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terejawantah, sebelum doa bersama berikutnya diperlukan. (**)










