Asep kembali menegaskan, agar masyarakat tidak gagal paham, bahwa isi gugatan adalah pihak tergugat I merupakan perusahaan yang beraktifitas di objek tergugat II. Namun sampai detik ini, kedua perusahaan tersebut harus membuat adendum terlebih dahulu.
“Logikanya kembali saya contohkan. Yang mengajukan perizinan atas nama Syakur, untuk memperoduksi sepatu dengan lokasi di Kecamatan Cibatu. Namun, yang melakukan operasional adalah perusahaan atas nama Putri dengan memproduksi alas sepatu dengan lokasi yang sama yakni di Kecamatan Cibatu,” ucapnya.
Artinya, sambung Asep Muhidin, ada dua subjek yang melakukan operasional pada objek yang sama dengan izin yang berbeda. “Maka dari itu, kami mempertanyakan adendumnya mana, karena tergugat I melakukan aktivitas menggunakan perizinan tergugat II,” ungkapnya.
Selain itu, PMH para tergugat yang telah menimbulkan dampak terjadinya banjir yang disertai material tanah, lumpur dan bebatuan, yang berasal dari kawasan tergugat I dan tergugat II kepada permukiman warga.
“Hal ini sudah diakui juga oleh Kepala Desa Mekarsari, Kecamatan Cibatu, Ahmad Sadeli bahwa di sekitar perusahaan telah terjadi banjir disertai material lumpur,” terangnya.
Selain diduga melakukan PMH, tergugat I dan tergugat II juga telah melanggar Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 yang telah diubah dengan oleh UU No. 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta kerja menjadi Undang-Undang yang menyebutkan (1) setiap usaha dan / atau kegiatan yang berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki Amdal,” tukasnya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues









