LOCUSONLINE, LAMPUNG SELATAN – Dugaan kolusi dalam pengadaan barang dan jasa di RSUD Bob Bazzar semakin mencuat ke permukaan. Direktur rumah sakit, dr. Renny Indrayani, tidak menampik bahwa CV Seribu Daya Abadi (SDA)—perusahaan penyedia dalam E-Katalog—berkaitan langsung dengan keluarganya. Yang lebih mengejutkan, perusahaan ini ternyata dimiliki oleh adik kandungnya, Hari Wibowo, yang juga merangkap sebagai sopir pribadinya, serta Ardi Suhendro, staf perencanaan rumah sakit. Sabtu, 1 Februari 2025
Dalam pengadaan peralatan kantor yang nilainya mencapai Rp518,8 juta, perusahaan ini diduga memainkan harga hingga mark-up 30-60% lebih tinggi dari harga pasaran. Seolah mengikuti skenario yang telah dirancang rapi, CV SDA terdaftar sebagai vendor pada E-Katalog lokal hanya dalam 20 hari kalender sejak berdiri. Tidak lama kemudian, perusahaan ini langsung mendapatkan kontrak pengadaan Exhaust Fan, Fingerprint, dan bahan EMR pada Maret 2024.
Kecepatan perusahaan ini mendapatkan proyek bernilai ratusan juta rupiah menimbulkan pertanyaan besar. Padahal, vendor lain umumnya harus melewati proses administrasi yang lebih panjang dan ketat sebelum bisa terdaftar di sistem pengadaan pemerintah. Namun, CV SDA melaju tanpa hambatan dan segera mengamankan kontrak yang menguntungkan.
Setelah kasus ini mencuat ke publik, muncul kejanggalan lain: tayangan produk dalam E-Katalog tiba-tiba menghilang secara misterius. Produk-produk yang sebelumnya sudah dikontrak dan diserahkan tiba-tiba tidak lagi bisa ditemukan dalam sistem. Langkah ini diduga sebagai upaya untuk menghapus jejak transaksi yang sarat dengan dugaan persekongkolan dan penggelembungan harga.
Tidak hanya itu, harga barang yang disediakan CV SDA dalam kontrak tersebut didapati jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasaran maupun dari vendor lain. Review sederhana menunjukkan selisih harga yang mencolok, berkisar antara 30-60%. Dugaan mark-up ini semakin menguatkan indikasi bahwa proyek ini telah diatur sedemikian rupa untuk keuntungan pihak tertentu.
Meski berbagai fakta mencurigakan telah terungkap, dr. Renny Indrayani tetap bersikukuh bahwa tidak ada aturan yang dilanggar. Menurutnya, siapa pun boleh mendirikan perusahaan sepanjang bukan ASN, termasuk adik kandungnya. Pernyataan ini seolah mengesampingkan indikasi konflik kepentingan yang begitu jelas.
“Saya tegaskan bahwa tidak ada yang melanggar aturan. Kalau ada yang ingin berusaha dengan mendirikan perusahaan, selama bukan ASN atau PNS, itu sah-sah saja. Kami mengikuti prosedur yang ada, dan semua dilakukan melalui E-Katalog yang transparan. Jika ada yang merasa harga tidak sesuai, itu adalah kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam sistem,” ujar dr. Renny Indrayani dengan tegas.
Fakta bahwa perusahaan keluarga bisa memenangkan kontrak besar dalam waktu singkat, ditambah dengan dugaan pengondisian harga, menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi. Dengan posisi strategisnya sebagai direktur, dr. Renny Indrayani memiliki wewenang besar dalam menentukan penyedia barang dan jasa untuk rumah sakit yang dipimpinnya.
Praktik semacam ini bukan hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Peraturan terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah jelas melarang konflik kepentingan yang dapat merugikan keuangan negara. Jika dugaan kolusi ini terbukti, maka tidak hanya melibatkan pejabat rumah sakit, tetapi juga dapat menyeret pihak-pihak lain yang terlibat dalam skema ini.
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih mengakar dalam sistem birokrasi. Jika dibiarkan tanpa tindakan tegas, skandal serupa akan terus berulang, menggerogoti kepercayaan publik terhadap transparansi dan keadilan dalam pengelolaan dana publik.
Pewarta: Ridwansyah
Editor: Bhegin