LOCUSONLINE, CIMAHI – Banjir di Cimindi bukan lagi bencana alam—tapi bencana kebijakan. Rabu malam, 2 Juli 2025, kawasan Jalan H. Amir Machmud, batas Kota Bandung dan Cimahi, kembali tergenang. Genangan air bukan hanya merendam jalan dan kios, tapi juga menggenangi rasa percaya warga pada pemerintah yang sudah lama ikut hanyut.
Setiap tahun, setiap musim hujan, warga Graha Indah dan sekitarnya dipaksa pasrah. Mereka tidak sekadar melawan air, tapi juga menghadapi sistem yang tak pernah belajar. Kali ini, air setinggi lutut kembali menyerbu rumah dan tempat usaha mereka. Dan seperti biasa, aparat birokrasi baru muncul setelah lumpur mengering dan kamera media berdatangan.
“Sudah tiga kali banjir tahun ini, tapi tetap saja tidak ada perubahan,” ujar Fauziah, pedagang kios yang tak lagi berharap banyak. Air datang cepat, solusi selalu lambat.
Di balik banjir Cimindi tersimpan fakta kelalaian struktural. Menurut Dede Jaenudin, warga Perumahan Graha Indah, penyebab utama adalah sistem drainase yang jauh dari memadai.
“Saluran airnya kecil, air dari atas seperti Setraduta dan Aruman semuanya dibuang ke sini. Begitu hujan deras, jalanan langsung jadi sungai,” kata Dede.
Apa yang disebut “saluran air” di kawasan ini tak lebih dari gorong-gorong sempit yang tak pernah diukur ulang sesuai beban kawasan yang terus tumbuh. Akibatnya, air balik arah, masuk ke rumah warga, dan mengendapkan lumpur seolah sedang memberi pesan: inilah hasil perencanaan yang malas dan abai.
Baca Juga :
Kebun Binatang Bandung Ricuh: Konflik Manajemen Picu Penutupan, Satwa Jadi Korban
Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia, kembali muncul dengan janji usang: normalisasi Sungai Cimindi. “Kami akan lakukan pengerukan sedimen,” ujarnya, seperti kaset rusak yang diputar ulang setiap kali banjir melanda.
