LOCUSONLINE, GARUT – Rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengarahkan wilayah hulu—Cianjur, Sukabumi—sebagai zona konservasi, sementara hilir seperti Bekasi dan Karawang tetap menjadi pusat industri, terdengar sistematis. Namun di lapangan, penataan ruang itu lebih sering berakhir sebagai simbol kosong—konkret di kertas, mimpi di lapangan. Jumat, 4 Juli 2025
Kasus Kawasan Bandung Utara (KBU) yang rutin dipenuhi pemukiman dan villa ilegal menjadi contoh nyata. Menurut WALHI Jabar, sekitar 70% dari 40.000 hektar KBU sudah kehilangan fungsi resapan air—konversi masif ini memicu bencana longsor dan banjir di wilayah Bandung Raya . Regulasi seperti Perda no. 2/2016 yang mensyaratkan rekomendasi gubernur palsu-dominan tanpa konsekuensi hukum—hanya bersifat moral, bukan mengikat secara legal .
Studi dari Universitas Jenderal Achmad Yani mengungkap bahwa alih fungsi lahan resapan ke pemukiman—seperti di Cipageran & Citeureup—justru tanpa prosedur izin, menyebabkan daya dukung wilayah hancur dan ancaman banjir membayangi . Ironisnya, RTRW pun sering diubah untuk memuluskan kepentingan komersial, bukan menjamin konservasi.
Baca Juga :
Cimindi Banjir Lagi, Pemerintah Tenggelam: Bukti Gagalnya Negara Menjaga Warganya
Dibalik Nama, Terselip Ego Kekuasaan, Dedi Mulyadi Bapak Aing Nu Piomongeun!
Padahal, Undang‑Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) mewajibkan pengganti lahan yang dialihfungsikan. Namun implementasi ini di Jawa Barat terbukti gagal menjaga lahan sawah dan resapan air .
