LOCUSONLINE, JAKARTA — Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang dikerjakan menjelang usia 80 tahun kemerdekaan, tampaknya bukan sekadar soal memperbarui buku, tetapi juga bagaimana luka-luka masa lalu disesuaikan agar terasa lebih “ramah pembaca”. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mencoba meredam kritik dengan menyebut “banyak yang setuju kok”, seolah keriuhan publik hanyalah gema minor dari ruang kosong.
Di tengah isu penolakan publik terhadap revisi sejarah nasional, Fadli bersikeras bahwa prosesnya berjalan lancar dan akan segera masuk tahap uji publik.
“Sebentar lagi ke masyarakat dan sejarawan,” ujar Fadli usai menghadiri acara ulang tahun organisasi marga Simbolon, Senin (7/7/2025). Sayangnya, uji publik itu belum jelas bentuknya — apakah dialog terbuka, seminar terbatas, atau sekadar formalitas yang ujungnya sudah ditentukan.
Kontroversi memuncak sejak Fadli Zon sebelumnya menyatakan keberatan atas istilah “perkosaan massal” dalam catatan sejarah kerusuhan Mei 1998. Alih-alih mengakui kekejaman sebagai bagian tak terelakkan dari masa kelam, Fadli meminta publik melihat sejarah dengan “akal sehat”.
“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi, sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” katanya.
Baca Juga :
Dibalik Nama, Terselip Ego Kekuasaan, Dedi Mulyadi Bapak Aing Nu Piomongeun!
Ironisnya, yang dipersoalkan bukan kebenaran datanya, tapi bagaimana fakta-fakta itu disampaikan — seolah luka sejarah hanya layak disebut jika sudah dirias secara akademis dan sopan. Apakah “kejujuran sejarah” itu berarti mengurangi kadar penderitaan dalam narasi, agar tidak mengganggu stabilitas suasana?
