LOCUSONLINE, SURABAYA – Di tengah sunyinya solusi untuk berbagai problem krusial di Jawa Timur, pemerintah provinsi kini disibukkan menggodok regulasi untuk mengatur satu ‘ancaman besar’ yang menggema di ruang publik: sound horeg. Ya, perangkat audio berdaya super ini, yang biasa menemani hiburan jalanan dan resepsi meriah, kini menjadi prioritas kebijakan karena dianggap terlalu bising untuk telinga demokrasi. Rabu, 9 Juli 2025
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak menyampaikan bahwa pihaknya sedang melakukan pembahasan lintas sektor. “Sedang digodok, tidak didiamkan,” kata Emil, menegaskan bahwa suara rakyat—meski diteriakkan lewat pengeras 5000 watt—tetap mereka dengar.
Emil mengakui, jika tak ditangani, sound horeg bisa menjelma bom waktu konflik sosial. Namun hingga kini, belum jelas siapa yang memegang stopwatch. Pemerintah masih berupaya mencari jalan tengah—antara ketenangan batin warga dan kelangsungan hidup para seniman jalanan berdentum.
Fenomena sound horeg sendiri sudah naik level, bukan sekadar problem tetangga bising. Sebuah pondok pesantren di Pasuruan bahkan telah mengeluarkan fatwa haram. Tak tanggung-tanggung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur turut mengamini, seolah dentuman bass kini sejajar ancamannya dengan praktik riba atau judi online.
Baca juga : “Restorative Justifikasi” Saat Kekerasan Atas Nama Agama Mau Dimediasi Seperti Urusan Tetangga Ribut Kucing
Di sisi lain, para pelaku hiburan jalanan tidak tinggal diam. Mereka menilai vonis sepihak terhadap sound horeg adalah penghakiman kolektif terhadap seni rakyat. Tidak semua pertunjukan merusak akhlak, klaim mereka—sebagian justru membantu menggoyang ekonomi lokal, walau sambil menggoyang genteng rumah warga.
