LOCUSONLINE, GARUT – Satu lagi nyawa muda melayang, bukan karena gagal ujian nasional, tapi karena gagal mendapat perhatian. Siswa yang mengakhiri hidupnya sendiri di Garut menyisakan duka mendalam dan tamparan keras bagi dunia pendidikan yang makin dingin, kaku, dan berjarak. Rabu, 23 Juli 2025
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi turun tangan, mempertemukan keluarga almarhum dengan pihak sekolah. Yang mengemuka bukan sekadar rasa kehilangan, tetapi juga pengakuan pilu: selama sebulan sakit, tak satu pun guru atau wali kelas datang menjenguk.
“Ini bukan cuma soal akademis, Bu. Ini rusaknya sudah sampai ke urat emosi,” ujar Dedi kepada para guru, seperti sedang membuka diagnosis atas penyakit lama dalam sistem pendidikan: mati rasa.
Menurut Dedi, sistem pendidikan Indonesia hari ini terlalu sibuk mengejar angka dan ranking, sampai lupa bahwa yang duduk di bangku sekolah adalah manusia, bukan robot akademik.
“Guru hari ini profesional, ya. Tapi terlalu profesional, sampai lupa caranya peduli,” sindirnya tajam.
Dedi lalu berbicara soal naluri dasar manusia: jika murid tak masuk sebulan, naluri keibuannya harusnya muncul. Tapi yang muncul justru abai berjamaah.
Ironisnya, pihak sekolah justru memberikan alasan klasik: wali kelas sedang di rumah, tak ikut acara pesantren kilat. Rupanya, kediaman guru kini lebih sakral daripada tempat pendidikan. Sementara siswa yang sakit, hanya jadi nama absen yang dilompati tiap pagi.
Salah satu pihak keluarga mengungkap standar lama yang kini seolah hilang: “Dulu, tiga hari saja anak tidak sekolah, sudah ada guru yang menengok. Sekarang? Satu bulan pun senyap.”

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”