“Jika dulu kita mendambakan sekolah ramah anak, kini kita diberi sekolah ramah AC. Siswa boleh belajar dalam kepadatan, asal tidak berkeringat terlalu banyak. Pendidikan memang tak bisa instan. Tapi kalau pendingin ruangan dianggap solusi sistemik, mungkin kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya butuh penyejuk? Ruang kelas… atau akal sehat kita?”
LOCUSONLINE, BANDUNG — Selamat datang di kelas masa kini, di mana proses belajar mengajar tak lagi diukur dari kurikulum dan kualitas guru, melainkan dari jumlah BTU AC dan seberapa cepat keringat siswa menguap. Sejumlah SMA Negeri di Jawa Barat kini menghadapi fenomena rombel gemuk, alias ruang kelas yang dijejali lebih dari 40 siswa tak jauh beda dari konser dadakan di dalam kardus. Jumat, 25 Juli 2025
Namun jangan khawatir, pemerintah punya solusi jenius: AC!
Ya, ketimbang mengatur kembali rasio guru dan siswa, atau membangun ruang kelas baru, pemerintah memilih pendekatan termodinamika. Pendingin udara adalah jawabannya. Bukan untuk pendidikan yang lebih berkualitas, tapi agar siswa tidak meleleh sebelum jam pelajaran usai.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, tampil sebagai penyelamat bangsa dengan gagasan berpendingin:
“Ya, nanti kita akan pasang AC. Yang penting adem. Pelajaran bisa belakangan.”
Ia pun memastikan pendinginan ini bersifat merata, dari Bandung hingga Karawang, walau tetap tunduk pada proses pengadaan ala sinetron birokrasi: panjang, lambat, dan penuh episode.
Baca Juga : Hari Anak Nasional: Panggung Retorika di Atas Tubuh Ringkih Generasi Emas
Sambil menunggu AC mendarat, pemerintah juga telah menambah 43 ribu kursi. Sayangnya, kursi yang bertambah tak mengembang ruangan. Maka jadilah kelas seperti sarden intelektual: sempit, gerah, tapi tetap dipaksa ceria.
Masalah ini, kata Herman, adalah bagian dari transisi. Transisi dari logika ke improvisasi. Pemerintah khawatir anak putus sekolah, tapi lebih takut dituduh tidak aware. Jadi semua disiasati: penambahan siswa tanpa kelas baru, dan kenyamanan diserahkan pada kompresor AC.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”