“Sebuah harapan besar untuk wilayah yang selama ini menganggap wirausaha adalah usaha-usaha bertahan hidup.”
LOCUSONLINE, GARUT – Di Kampung Munjul, Cintarakyat, Samarang, Garut, sekelompok pemuda putus sekolah akhirnya menemukan peluang baru: bertanam hidroponik. Ini bukan kisah revolusi pertanian modern, melainkan upaya darurat agar generasi muda tidak kembali terseret rutinitas harian: bangun, nongkrong, rebahan, dan mengeluh soal nasib sambil main gim.
Program ini dikemas rapi lewat Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Universitas Pasundan dengan pendanaan resmi dari BIMA Kemendiktisaintek. Negara akhirnya hadir, setelah sekian lama hanya hadir berupa baliho “Ayo Wirausaha” dan imbauan motivational quotes dari pejabat.
Ketua tim, Dr. H. Uus Toharudin, tampak percaya diri bahwa hidroponik adalah jawaban dari problem struktural Garut yang bertahun-tahun tak terselesaikan.
“Kami ingin pemuda tidak hanya jadi buruh tani,” ujar Dr. Uus.
Pernyataan yang kalau dibaca perlahan berarti: mari keluar dari lingkaran miskin–buruh–putus sekolah yang dibuat negara dan dibiarkan bertahun-tahun.
Program ini membawa misi mulia: membangun petani modern dari pemuda yang dulu bahkan tak sempat membangun mimpi. Dibantu tim akademisi dan mahasiswa, mereka dilatih meracik nutrisi, mengelola media tanam, hingga memasarkan hasil panen. Teknologi digital juga diperkenalkan, barangkali untuk mengalihkan kebiasaan mereka scroll video pendek menjadi scroll pesanan pelanggan.
Baca Juga :
Sampah, Cermin Diri yang Kita Hindari Tapi Kita Ciptakan Tiap Hari
Kampung Munjul sebenarnya punya modal kuat: air melimpah, suhu stabil, dan masyarakat pekerja keras. Yang kurang hanya satu: keberpihakan sistem. Tapi setidaknya kali ini, dosen datang, bukan sekadar melakukan penelitian lalu pulang dengan publikasi internasional.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














