LOCUSONLINE, JAKARTA – Fahri Bachdim pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, menyatakan bahwa amicus curiae atau sahabat pengadilan yang diajukan pada akhir sidang Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bentuk intervensi dalam peradilan. Kamis, 18/4/ 2024
Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Rabu, 17 April mengatakan fenomena beberapa pihak yang mencoba untuk menjadi amicus curiae pada akhir sidang.
“Ketika majelis hakim MK telah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) adalah bentuk intervensi pada lembaga peradilan MK yang diatur dalam format hukum amicus curiae,” kata Fahri Bachmid.
Keterlibatan pihak atau elemen yang berkepentingan dalam perkara tersebut, hanya sebatas memberikan pendapat.
Dalam terminologi hukum dan praktik lembaga peradilan umum, menurutnya, friends of the court atau sahabat pengadilan.
Dari segi fungsi sebenarnya adalah amicus curiae, yaitu pihak atau elemen yang merasa berkepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukum kepada pengadilan.
Praktik penggunaan amicus curiae secara umum, biasanya ditemukan dalam negara-negara dengan sistem hukum common law.
Namun, praktik tersebut tidak terlalu umum dalam negara-negara dengan sistem hukum civil law, termasuk Indonesia.
“Akan tetapi, pada dasarnya praktik seperti itu tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita,” ujarnya.
Menurut Fahri secara yuridis konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues