“FGD wajib dilakukan dalam rangka mencari kesepakatan tentang kelengkapan edukasi. Pada FGD ini juga dibahas terkait sarana dan prasarana yang harus disiapkan, bahkan siapa yang menyiapkan sarana ini juga masuk pada tahapan FGD,” ujarnya.
Selain itu, sambung Jujun, dalam FGD ini akan dilakukan kajian dan pembahasan lebih luas, diantaranya membahas tentang pendanaan. Apakah akan menggunakan anggaran negara, swasta atau iuran dari warga. “Berapa dana yang dibutuhkan harus dibahas di FGD,” katanya.
Menurut Jujun, yang tidak kalah penting harus dihitung dulu berapa biaya yang harus dikeluarkan agar program berjalan lancar sesuai harapan. Karena untuk melakukan pengolahan sampah nanti akan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM), moda transportasi, BBM (Bahan Bakar Minyak) serta tempat atau lahan.
“Proses pengangkutan sampah dari rumah warga ke tempat pengolahan sampah akan dilakukan oleh siapa saja, berapa biaya untuk petugas yang yang mengangkut, serta tempat atau lokasi pengolahannya dimana. Itulah sistem. Jadi saya ingin menyiapkan dulu sistemnya terlebih dahulu,” tandasnya.
Pada FGD juga harus ada kesepakatan tentang pemanfaatan sampah. Sampah-sampah yang sudah terkumpul akan dibuat untuk apa. Apakah akan dibuat kompos atau dibuat untuk hal lain.
“Limbah bisa dipilah antara organik dan anorganik. Organiknya bisa dibuat kompos atau budiaya Magot. Kalau untuk anorganiknya bisa dipilah lagi. Untuk memutuskan produksi yang akan dibuat, harus dibahas terlebih dahulu,” katanya.
Jujun menegaskan, poin kedua adalah mendekatkan pengolahan sampah. Artinya mendekatkan Puding ke desa masing-masing, karena Puding ini harus didekatkan, karena, kalau tidak didekatkan ujung-ujungnya pembuangan sampah akan dilakukan ke sembarangan tempat seperti ke jalan atau ke sungai.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues