“Kenapa pihak-pihak kelurahan tidak berkolaborasi dengan pihak desa, padahal lokasinya tidak jauh. Masih terjangkau. Artinya diantara kepala desa dengan kelurahan bisa bermusyawarah. Bisa melakukan pengolahan sampah bersama-sama di lokasi yang sudah disepakati, sehingga berada dalam satu kawasan,” jelasnya.
Kedua dari sisi bangunan, untuk membangun pengolahan sampah bisa menggunakan dana kelurahan, tingal bagaimana pimpinan kecamatan memberikan dorongan. Selama ini banyak pihak mengatakan bahwa kecamatan tidak bisa interpensi ke pihak kelurahan, padahal tentu saja pihak kecamatan memang bisa melakukan interpensi demi kepentingan umum.
“Kata siapa kecamatan tidak bisa interpensi ke pihak kelurahan atau desa. Saya katakan bisa saja. Untuk pembangunan bisa diposkan melalui dana kelurahan atau dana desa, yang menjdi masalah adalah honor atau biaya operasionalnya. Maka saya bilang, kalau begitu simpan saja anggarannya di kecamatan dan jangan di kelurahan, simpani di DPA kecamatan, dengan mengggunakan sistem GU,” bebernya.
Jujun mengaku sudah menyampaikan tekhnis dan penganggarannya, dan sudah diterapkan di desa-desa yang dilakukan pendampingan. Setelah itu pihak DLH melakukan sosialisasi ke desa-desa, walaupun ada yang secara offline dan online.
“Saya coba melakukan desk kepada mereka tentang apa masalah-masalahnya. Mereka menyampaikan, bahwa mereka sudah membeli motor, terus mau dikelolanya per desa, karena kalau per RW lebih besar biayanya. Jadi seiring dengan perkembangan waktu nanti bisa dilakukan per RW,” katanya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues