Lalu apa saja yang dibutuhkan, Jujun mengaku terus menggali informasi dari pihak desa. Ketika kendaraan bermotornya sudah ada, baru berbicara soal lokasinya. Maka lokasinya bisa menggunakan cara pinjam pakai atau setiap kepala desa dan para lurah berkumpul. Semisal di tiga desa itu hanya ada satu desa yang memiliki lahan, maka bisa saja ketiga desa itu menggunakan lahan secara bersama-sama.
“Bisa menggunakan lahan bareng-bareng, antara beberapa desa atau desa dan kelurahan. Kalau semisal harus ada kontribusi ke pihak desa yang memiliki lahan, maka silahkan di musyawarahkan. Kalau satu desa bisa mengadakan lahannya masing-masing, maka itu lebih bagus. Itu yang saya coba dampingi ke pihak desa,” terangnya.
Setelah ada motor dan lahan, maka selanjutnya harus dimusyawarahkan tentang honor untuk petugas, misalnya Rp 500.000 / orang dikali 6 dikalikan satu tahun, maka pembiayaannya sudah bisa digambarkan. Untuk tenaga pemilah sampah pun demikian. Sedangkam biaya untuk BBM, tinggal menghitung jarak ke lokasi pengolahan sampah. Dan untuk gedung pun diberikan gambarannya.
“Apalagi kalau didukung oleh warga, maka itu akan menjadi sangat bagus. Kan ada peribahasa yang mengatakan, sampahku tanggung jawabku, sampahmu tanggung jawabmu. Artinya, kalau ada sampah milik seseorang, lalu harus dikelola oleh orang lain, maka tentu wajib ada biaya pengelolaannya. Itu bukan hal yang ilegal, tetapi tanggung jawab masing-masing. Jarang orang sukarela, karena mereka juga memiliki tanggung jawab keluarga yang harus dibiayai,” tandasnya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues