LOCUSONLINE – Belum lama ini, lembaga penegak hukum Kejaksaan Negeri Kabupaten Garut menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (Sp3) terkait dugaan dugaan tindak pidana penggunaan anggaran Biaya Operasional Pimpinan (BOP) dan kegiatan serap aspirasi masyarakat (reses) di DPRD Garut Tahun 2014-2019.
Terbitnya SP3 setelah penanganan perkara dugaan pelanggaran hukum di lembaga legislatif ini menuai beragam reaksi dari sejumlah aktivis di Kota Intan. Pasalnya, proses hukum ini sudah bergulir cukup panjang, tepatnya sejak tahun 2019 lalu.
Bahkan, proses berlarut-larutnya penangan kasus BOP dan Reses DPRD ditangani oleh empat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Garut. Empat Kajari yang menangani kasus ini diantaranya Azwar, SH., MH yang bertugas sejak Maret 20218 sampai tahun Januari Tahun 2020 Kemudian, jabatan nomor satu di Kejari Garut diteruskan oleh Sugeng Hariadi, SH,. MH yang bertugas sejak Januari tahun 2020 sampai Januari tahun 2021.
Tugas sebagai Kajari Garut dari Sugeng Hariadi diteruskan kepada Dr. Neva Sari Susanti, SH,. M. Hum sejak Januari 2021 sampai dengan Februari 2023. Sementara Kajari Garut selanjutnya adalah Dr. Halila Rahma Purnama, SH., MH mulai bertugas di Kota Santri sejak Februari 2023 sampai saat ini.
Poses hukum terkait BOP dan reses DPRD Garut oleh ketiga pimpinan tertinggi Kejari Garut terkait dugaan korupsi anggaran BOP dan Reses DPRD mengalami perkembangan yang tidak ada kejelasannya. Kasus tersebut terus menghiasi media massa dan pembicaraan banyak pihak, khususnya aktivis anti korupsi.
Banyak pihak yang berharap Kejari Garut untuk segera menuntaskan kasus tersebut, karena dengan proses yang cukup panjang menimbulkan banyak spekulasi dan beragam dugaan dari berbagai kalangan.
Setidaknya ada dua pihak yang mendorong pihak Kejari Garut untuk menyampaikan kepastian terkait BOP dan Reses. Pihak pertama mendukung dan mendorong Kejari Garut untuk segera mengumumkan siapa saja yang terbukti bersalah dan segera ditetapkan tersangkanya.
Sementara pihak lain meminta Kejari Garut untuk bersikap tegas dan berani dengan menerbitkan SP3, apabila memang tidak ditemukan cukup bukti, sehingga semua aparatur pemerintah dan 50 Anggota DPRD Garut bisa bekerja dengan fokus dan maksimal.
Terbitnya SP3 dugaan tindak pidana terkait anggaran kegiatan BOP dan Reses Anggota DPRD Kabupaten Garut periode 2014-2019 berdasarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor: PRINT-1971/M.2.15/Fd.2/12/2023 tanggal 22 Desember 2023 dimasa kepemimpinan Dr. Halila Rahma Purnama, SH., Hum membuat sebagian aktivis anti korupsi tersentak.
Laporan Ke Jamwas dan Satgas 53
“Saya bukan pelapor, tetapi selama ini kami mendukung penegakan hukum. Kami akan mempelajari dulu alasan pihak Kejari Garut menerbitkan SP3. Tapi saya pribadi merasa kecewa mendengar perkembangan dugaan pelanggaran BOP dan Reses DPRD Garut berakhir dengan SP3. Namun demikian saya tetap harus menghormati keputusan yang diambil Kejari Garut,” imbuh Ketua LSM DPD Laskar Indonesia, Dudi Supriadi dan Ketua Galudra Nusantara Intan Dewata (GDIN) Rudi di bilangan Setda Pemkab Garut, Jumat (11/01/2024).
Aktivis yang dikenal idealis ini menegaskan, Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) penggunaan anggaran negara merupakan dokumen dan arsiparis yang harus disimpan secara tertib, karena termasuk pada dokumen penting. “Saya membaca keterangan pihak Kejari Garut disalah satu media online bahwa LPJ di DPRD terkait dengan laporan kegiatan anggota dewan tidak lengkap. Ini membuktikan kinerja DPRD Garut tidak tertib yang masuk pada kategori lalai. Ini contoh tidak terpuji,” katanya.
Selain itu, Dudi menduga, ketiadaan LPJ kegiatan Anggota DPRD selama melaksanakan reses dikarenakan proses hukum yang berlarut-larut, sehingga banyak dokumen yang tidak lengkap. “Seharusnya, jika dokumen pertanggungjawaban tidak ada, maka patut dipertanyakan. Apakah memang tidak ada sejak awal, atau sengaja dihilangkan. Semua alasan harus bisa dipertanggungjawabkan. Pihak dokmentasi dan kearsipan DPRD Garut harus bertanggung jawab” katanya.
Dudi menegaskan, pihaknya tetap menghormati keputusan Kejari garut menerbitkan SP3 terkait indikasi tindak pidana korupsi BOP dan Reses DPRD Garut periode 2014-2019 sepanjang proses dan syarat penerbitan SP3 yang berdasar hukum dan demi hukum.
“Sebagai masyarakat kami akan mengkaji proses tahapan diterbitkannya SP3, apakah sesuai SOP Kejaksaan atau tidak. Kami tidak akan mengambil jalur praperadilan, namun kami akan meminta Jamwas Kejaksaan dan Satgas 53 untuk menguji dan mengaudit proses keluarnya SP3 tersebut,” tandasnya.
Kegiatan Reses Tidak Seluruhnya Didukung LPJ
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Garut, Halila Rama Purnama, melalui Kasi Intelijen Jaya P. Sitompul, mengatakan, penghentian penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait kegiatan anggaran BOP dan Reses tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan gelar perkara dan diperoleh kesimpulan tidak diperoleh adanya minimal dua alat bukti yang cukup dan sah, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Menurut Kasi Intelijen Kejari Garut, Penyidik Kejari Garut dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait BOP dan Reses DPRD Garut periode 2014-2019 telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan telah menyita beberapa dokumen. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan ternyata masih belum diperoleh alat bukti yang cukup untuk mendukung pembuktian unsur-unsur pasal dugaan tindak pidana korupsi. Berdasarkan bukti-bukti dari hasil penyidikan.
Penyidik menemukan adanya fakta hukum bahwa terdapat beberapa anggota DPRD yang berdasarkan bukti-bukti tervalidasi secara riil memang melaksanakan kegiatan reses dengan melakukan kunjungan dan pertemuan langsung dengan konstituennya di daerah pemilihan masing-masing, namun kegiatan reses dimaksud tidak seluruhnya didukung dengan LPJ atas pembelian makanan dan minuman dan sewa tenda/tempat pelaksanaan rapat dalam kegiatan tersebut.
Demikian pula, diperoleh fakta hukum bahwa Pimpinan DPRD Kabupaten Garut periode 2014-2019 juga telah melaksanakan kegiatan operasional yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, dan kebutuhan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas Pimpinan DPRD sehari-hari, namun tidak seluruhnya didukung dengan laporan pertanggungjawaban (LPJ). Meskipun faktanya memang beberapa anggota DPRD telah melaksanakan kegiatan penyerapan anggaran BOP dan Reses berdasarkan bukti-bukti berupa foto dokumentasi kegiatan masing-masing anggota DPRD Kabupaten Garut.
Dalam konteks ditemukannya fakta hukum terkait ketiadaan LPJ mengenai penyerapan anggaran BOP dan Reses tersebut, selanjutnya Tim Penyidik Pidsus Kejari Garut pada awalnya berpendapat bahwa hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara berdasarkan pada tidak adanya laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan BOP dan Reses.
Namun dalam perkembangan penanganan berikutnya, setelah Tim Penyidik melakukan koordinasi dengan lembaga yang berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara diperlukan alat bukti yang cukup guna membuktikan adanya kerugian keuangan negara.
Setelah Tim Penyidik melakukan penelusuran dalam rangka mendapatkan alat bukti yang dapat digunakan untuk penghitungan kerugian keuangan negara terdapat beberapa kendala yang menyebabkan alat bukti yang diperlukan tidak dapat terpenuhi. Antara lain, pihak ketiga selaku penyedia makanan dan minuman sebagian besar sudah tidak lagi pada alamat domisili dan bahkan sudah ada yang tutup dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Selain itu, terdapat beberapa orang anggota DPRD yang telah meninggal dunia. Bahkan diperoleh fakta hukum bahwa terdapat pengembalian kerugian negara yang disetorkan oleh 20 orang anggota DPRD Garut sejumlah Rp 409.295.000 sesuai dengan Bukti Setoran Temuan BPK RI Tahun 2015.
Mencermati fakta-fakta hukum tersebut, sehubungan dengan belum dapat diperolehnya alat bukti yang cukup berupa alat bukti saksi dari penyedia maupun alat bukti surat berupa data bukti dukung terkait kegiatan penyerapan anggaran BOP dan Reses tersebut, serta berlarutnya proses penanganan perkara yang sudah mulai ditangani Kejaksaan Negeri Garut sejak bulan Maret 2019, maka demi kepastian hukum setelah dilakukan Gelar Perkara akhirnya Tim Penyidik berkesimpulan bahwa belum diperoleh minimal dua alat bukti terkait dengan pembuktian unsur “kerugian keuangan negara” dan unsur “perbuatan memperkaya atau menguntungkan secara melawan hukum” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jaya P. Sitompul menegaskan, penghentian penyidikan dugaan perkara tipikor terkait BOP dan Reses DPRD Garut periode 2014-2019 tersebut telah memenuhi syarat-syarat objektifitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (2) jo. Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
“Keputusan Kejaksaan Negeri Garut dalam penanganan perkara ini dimaksudkan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan hukum baik bagi masyarakat pencari keadilan maupun bagi pihak-pihak terkait yang selama ini telah diperiksa dalam perkara ini,” katanya.
Namun demikian Kasi Intelijen menambahkan, bahwa tidak tertutup kemungkinan terhadap dugaan tindak pidana korupsi terkait BOP dan Reses DPRD Kabupaten Garut periode 2014-2019 tersebut dapat dilakukan penyidikan kembali sepanjang dikemudian hari ditemukan adanya alat bukti baru. “Apabila ada bukti baru bisa diproses lagi,” pungkasnya.
Layangkan Praperadilan
Terpisah, Asep Muhdin, SH., MH mengaku bahwa kantor hukumnya telah menerima surat kuasa dari beberapa masyarakat Garut terhadap terbitnya SP3 terkait penanganan kasus dugaan Tipikor BOP dan Reses, namun tidak untuk kasus Pokok Pikiran (Pokir) yang sama juga ditangani oleh Kejaksaan Negeri Garut.
“Kami masih melakukan telaahan, pendalaman dan mengumpulkan bukti-bukti yang akan dipergunakan nanti saat menyampaikan Praperadilan. Tentu bukti ini nantinya diharapkan agar Majelis Hakim dapat membatalkan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor PRINT-1971/M.2.15/Fd.2/12/2023 tanggal 22 Desember 2023 dan memerintahkan Kejaksaan untuk melanjutkan penyidikan terhadap kasus ini,” katanya.
Menurutnya, kalau alasan diterbitkan SP3 kurang cukup bukti dan adanya pengembalian kerugian tahun 2015, maka berdasarkan pertimbangan hakim Praperadilan dalam kasus BLBI antara MAKI dan Kejaksaan Agung, dimana salah satu pertimbangan Hakim adalah pengembalian kerugian negara, tidak menghapus pidana.
“Itu telah sejalan dengan ruh Pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga telah dijelaskan pada Pasal 12A ayat (2) yang menyebutkan, bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,” pungkasnya. (asep ahmad)