Menurut Asep, majelis hakim lebih mempertimbangkan visum yang salah ketik dan keterangan korban daripada kesaksian 7 orang saksi yang tidak melihat Harun Al Rasyid melakukan pemukulan.
“Artinya satu alat bukti visum yang salah ketik, ngaco, cacat formil lebih dipertimbangkan Hakim dibandingkan keterangan 7 orang saksi yang tidak melihat pemukulan. Kan saksi bilang tidak ada pemukulan, ya percuma kita menghadirkan saksi jika pernyataan saksi di bawah sumpah tidak didengarkan oleh hakim, seharusnya Hakim menilai fakta persidangan bukan dari yang disuguhkan oleh Jaksa lalu dikutif. Apalagi BAP, itu kan sudah diuji kebenarannya di persidangan, hanya pengakuan dari korban saja dipukul dari belakang terus ke pipi, sementara saksi lain tidak ada yang mengetahui, melihatnya,” jelasnya.
Kejari Garut Jaga Kondusifitas
Kepala Sub Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut, Bimo Mahardika, menyatakan bahwa jaksa penuntut umum menerima putusan majelis hakim demi terciptanya kondusifitas di Kabupaten Garut.
“Sebagaimana pertimbangan pimpinan untuk kondusifitas Kabupaten Garut, demi keadilan di masyarakat, maka dengan putusan majelis hakim tadi jaksa penuntut umum menerima. Sudah eksekusi keluar dari penjara,” kata Bimo Mahardika.
Meskipun Harun Al Rasyid telah keluar penjara, adiknya, Abdurohman, masih harus menjalani masa penahanan sesuai dengan putusan majelis hakim.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Tim pengacara Harun Al Rasyid merasa kecewa dengan putusan hakim yang dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan keterangan saksi yang dihadirkan.
