“Ada oknum-oknum koruptor dengan terang melangkahi berbagai aturan hukum yang berlaku, sehingga menyebabkan proyek mangkrak dan merugikan negara malah diberikan keleluasaan untuk mengembalikan kerugian negara selama itu. Ingat, pengembalian kerugian negara oleh CV Rajasa itu terhitung sejak Januari 2024 sampai dengan Agustus 2024, bukan sejak Juni 2024. Padahal, rekomendasi dari Inspektorat yang melakukan audit investigasi itu kewajiban mengembalikan kerugian negara sejak tanggal 03 Juni 2024, bukan Januari 2024,” tandasnya.
Dalam surat yang dia terima, Asep Muhidin tidak mengetahui secara persis kapan Kejari Garut menyetorkan uang sebanyak itu ke Kas Negara. Kalau saja uang ini disimpan di kas Kejari selama batas waktu yang tidak ditetapkan, maka dirinya menganggap uang yang dikumpulkan sebagai praktek pungutan liar.
“Uang dari pihak CV Rajasa sebagai perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana korupsi disimpan berbulan-bulan di lembaga penegak hukum. Saya minta apa dasar hukumnya uang sebanyak itu diendapkan oleh lembaga penegak hukum,” tandas Asep.
Masyarakat Sudah Cerdas, Kritis dan Bisa Memviralkan Suatu Kasus
Asep berharap agar masyarakat di Indonesia, khususnya di Kabupaten Garut bisa melakukan hak-haknya. Di era digital ini, Asep menilai masyarakat sudah lebih cerdas dari beberapa pejabat negara, lebih kritis dari pegiat anti korupsi dan pandai menyampaikan informasi sampai tersebar secara luas alias viral.
“No Viral No Justice, kalimat ini sudah dipahami betul oleh rakyat. Melihat kondisi proses penegakan hukum oleh lembaga inspektorat dan Kejari Garut saya sudah tidak bisa berharap banyak, saya hanya berharap sentuhan dari masyarakat yang saya nilai sudah sangat hebat, kritis dan tanpa ada kepentingan lain selain keadilan. Saya berharap masyarakat bisa ikut serta dalam proses pengawasan terhadap semua kinerja lembaga negara, agar program pembangunan yang dibuat tidak menjadi bahan korupsi,” tandasnya.