Pencemaran itu, lanjutnya, tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan masyarakat, seperti penyakit pernapasan, infeksi kulit, dan penyakit serius lainnya akibat paparan zat kimia berbahaya.
Keputusan ini juga menodai citra Garut sebagai kota wisata. Dengan keindahan alam, potensi budaya, dan kekayaan tradisi, Garut telah lama menjadi tujuan wisata favorit.
“Namun, keberadaan TPA yang dipenuhi sampah dari daerah lain akan menghancurkan citra tersebut,” kata Galih.
Galih juga menilai bahwa kompensasi yang ditawarkan oleh Kota Bandung tidak sebanding dengan dampak besar yang akan ditanggung oleh masyarakat Garut. Retribusi Rp75.000 per ton dan fasilitas perbaikan akses jalan serta PJU adalah penghinaan terhadap harga diri Garut.
“Apakah daerah yang memiliki potensi besar di sektor pariwisata dan ekonomi ini harus menjual martabatnya dengan harga serendah itu? Keputusan ini memperlihatkan lemahnya visi pemerintah daerah dalam melihat dampak jangka panjang, serta cenderung menunjukkan ketergantungan pada solusi jangka pendek yang merugikan,” tanya Galih.
Solusi Teknologi dan Pembangunan Berkelanjutan
Galih menekankan bahwa teknologi seperti waste to energy dapat menjadi solusi yang tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga menghasilkan energi listrik. Sistem anaerobic digestion dapat mengolah limbah organik menjadi biogas dan pupuk, sementara material recovery facility (MRF) memungkinkan pemisahan sampah untuk didaur ulang.
“Investasi pada teknologi ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah sampah, tetapi juga menciptakan pendapatan baru dan lapangan kerja bagi masyarakat Garut,” jelasnya.
