LOCUSONLINE – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati “Hari Buruh Internasional” atau yang lebih dikenal sebagai “May Day”. Di Indonesia, sejak tahun 2013, hari ini ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagai bentuk pengakuan terhadap peran vital para pekerja dalam pembangunan nasional. Namun, apakah peringatan ini telah benar-benar membawa perubahan berarti bagi buruh Indonesia?.
Dibalik gegap gempita aksi demonstrasi dan orasi yang memenuhi berbagai sudut kota, tersimpan realitas yang lebih dalam “masih banyak pekerjaan rumah” dalam sistem ketenagakerjaan kita. Hari Buruh seharusnya menjadi waktu yang bukan hanya untuk merayakan, tetapi juga untuk merefleksikan dan memperjuangkan keadilan serta kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan.
Baca juga :
Pagar Nusa Purwakarta Siap Kawal Muskercab PCNU, Ratusan Banser dan Pendekar Siap Jaga Keamanan
Akar Sejarah yang Sarat Perjuangan
Sejarah Hari Buruh tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang terjadi pada 1 Mei 1886 di Amerika Serikat, ketika ratusan ribu pekerja melakukan aksi mogok massal menuntut jam kerja yang lebih manusiawi, delapan jam kerja per hari. Aksi ini, yang dikenal sebagai “Tragedi Haymarket”, menjadi titik tolak lahirnya gerakan buruh internasional.
Di Indonesia, semangat itu sudah terlihat sejak era kolonial. Pada tahun 1920-an, serikat buruh mulai tumbuh dan menyuarakan hak-hak pekerja. Namun pada masa Orde Baru, peringatan Hari Buruh dilarang karena dianggap berbau ideologi kiri. Barulah setelah reformasi 1998, ruang bagi buruh untuk bersuara kembali terbuka, hingga pada tahun 2013, Hari Buruh resmi dijadikan hari libur nasional.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues