Korupsi yang melibatkan hakim memiliki dampak sistemik yang jauh lebih luas daripada korupsi pada sektor lainnya. Putusan pengadilan yang didasarkan pada suap atau kepentingan pribadi dapat menghancurkan hidup seseorang yang seharusnya mendapatkan keadilan, sekaligus membebaskan pelaku kejahatan yang seharusnya dihukum.
Ketika keputusan hukum kehilangan moral, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mendorong munculnya vigilante justice—dimana masyarakat merasa perlu mencari keadilan dengan caranya sendiri, di luar mekanisme resmi negara.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa hakim bisa terjerumus ke dalam praktik korupsi, antara lain:
- Kurangnya Pengawasan Internal – Mekanisme pengawasan terhadap perilaku hakim, meskipun telah ada Komisi Yudisial, masih belum cukup kuat dan sering kali tidak memiliki daya eksekusi yang memadai.
- Gaji dan Tunjangan yang Tidak Seimbang – Meski gaji hakim relatif lebih tinggi dari rata-rata pegawai negeri, tingkat risiko moral dan tekanan pekerjaan sering kali tidak sebanding dengan imbalan materi yang mereka terima.
- Budaya Hukum yang Lemah – Di banyak daerah, pengadilan masih dipandang sebagai tempat ‘negosiasi hukum’, bukan sebagai lembaga pencari keadilan yang netral.
- Ketiadaan Transparansi – Proses sidang yang tertutup dan sulit diakses oleh publik memperbesar ruang gelap tempat praktik-praktik curang bisa tumbuh.
Langkah Perbaikan Tidak Cukup Hanya Menangkap

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues