Namun, Asep Muhidin, S.H, M.H, kuasa hukum keluarga korban membantah keras kesimpulan tersebut. Dalam gelar perkara, diungkapkan bahwa pemeriksaan sejumlah saksi tidak menyeluruh. Keterangan Kepala Sekolah tempat Dindin mengajar disebut berubah-ubah, bahkan tidak diklarifikasi lebih lanjut siapa pria yang lebih dulu menghubungi keluarga korban sebelum kepala sekolah berbicara.
“Cuplikan CCTV menunjukkan sosok pengendara motor milik korban dengan ciri-ciri mencurigakan: mengenakan helm, ransel, dan sepatu putih. Identitas pengendara tak pernah dikonfirmasi secara forensik. Tak ada uji daktiloskopi atau forensik ilmiah terhadap jasad korban untuk mencocokkan ciri-ciri fisik atau sidik jari. Seluruh penyelidikan, menurut kuasa hukum, hanya bersandar pada keterangan saksi—bukan pada bukti ilmiah,” jelas Asep Muhidin.
Asep juga mengungkapkan fakta mencengangkan lainnya adalah ditemukannya bercak darah di kontrakan korban di Perum Arta Graha Pajaten, Sidamulih. Hingga kini, tidak pernah diungkap darah siapa yang tercecer di lokasi tersebut. Sementara lokasi ditemukannya jasad berada di wilayah hukum Polsek Sidareja, Cilacap. Artinya, locus delicti tersebar di dua wilayah hukum, namun keduanya menyatakan penyelidikan dihentikan.
“Yang makin membuat keluarga heran, KTP milik almarhum sempat dinyatakan hilang di lokasi penemuan jasad, namun tiga minggu kemudian tiba-tiba dikembalikan ke Polsek Sidareja oleh pihak yang tidak pernah diperiksa polisi,” ungkap Asep.
Keluarga sudah mengadu hingga ke Itwasum Mabes Polri. Pada 27 Maret 2025, Mabes Polri telah melayangkan surat klarifikasi kepada Kapolda Jawa Tengah, namun hingga kini belum ada perkembangan berarti.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”