Namun, klaim tersebut dibantah sejumlah pihak. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyoroti luas wilayah konsesi PT Gag Nikel yang mencapai 13.136 hektare, sementara luas Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.000 hektare. “Penambangan di sana telah menyebabkan deforestasi dan sedimentasi, yang mengancam biota laut di perairan Raja Ampat,” ungkapnya.
Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, juga mengkritik dasar hukum pemberian izin lingkungan PT Gag Nikel. Ia menilai penerbitan izin pada 2014 seharusnya sudah mengacu pada UU PWP3K yang berlaku sejak 2007, bukan UU Kehutanan. “Pemberian izin tersebut mengabaikan regulasi yang seharusnya menjadi acuan,” ujarnya.
Menurut catatan Walhi, saat ini terdapat 248 IUP yang tersebar di 43 pulau kecil di Indonesia. Karena itu, mereka mendesak evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang yang beroperasi di pulau kecil.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law, Raynaldo Sembiring, menegaskan bahwa unsur pidana dalam kasus ini harus dibuktikan melalui kajian ilmiah. “Jika terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk PT Gag Nikel dapat dijerat melalui mekanisme hukum,” katanya.
Dalam konteks ini, sejumlah regulasi dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan lingkungan, antara lain:
UU Cipta Kerja No. 6/2023, terkait kehutanan dan persetujuan lingkungan;
UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur ancaman pidana bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan;
