LOCUSONLINE, WASHINGTON D.C. – Analis kebijakan luar negeri dari Quincy Institute for Responsible Statecraft, Trita Parsi, menyebut Israel tengah menanggung akibat dari kesalahannya sendiri karena meremehkan kapasitas militer Iran. Serangan balasan Iran yang tak kunjung reda dinilai sebagai bukti ketahanan dan kemampuan negara itu dalam merespons tekanan militer.
“Israel keliru besar. Mereka mengira bisa melumpuhkan Iran dengan membunuh sejumlah petinggi militernya. Tapi mereka salah hitung,” ujar Parsi seperti dikutip CNN, Senin (16/6/2025).
Parsi merujuk pada pembunuhan beberapa tokoh penting militer Iran, termasuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mayor Jenderal Mohammad Bagheri dan Komandan IRGC Mayor Jenderal Hossein Salami. Israel juga disebut menargetkan tokoh intelijen IRGC serta beberapa ilmuwan nuklir Iran dalam serangan udara terkoordinasi.
Tak berhenti di situ, Israel menggempur fasilitas nuklir utama Iran di Natanz—lokasi strategis yang menjadi jantung program pengayaan uranium negara itu. Fasilitas ini terdiri dari dua pusat utama: Fuel Enrichment Plant (FEP) yang berada di bawah tanah dan Pilot Fuel Enrichment Plant (PFEP) di permukaan. FEP dirancang untuk kapasitas besar, menampung hingga 50.000 sentrifugal. Saat ini, sekitar 14.000 mesin telah terpasang, dan 11.000 di antaranya aktif memurnikan uranium hingga tingkat 5 persen.
Namun, menurut Parsi, keyakinan Israel bahwa operasi tersebut akan melumpuhkan komando Iran ternyata keliru. “Netanyahu mengira mereka berhasil mengacaukan sistem kendali militer Iran. Tapi serangan balasan yang masif justru membuktikan sebaliknya,” ujarnya.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”