Ia menilai sistem e-katalog yang digadang sebagai alat transparansi belum cukup membendung kolusi. Tanpa pengawasan ketat dan partisipasi publik, sistem digital pun hanya akan menjadi bungkus formal belaka.
Dari hasil penyelidikan, dua kontraktor—Akhirun Efendi Siregar (PT DNG) dan Rayhan Dulasmi Pilang (PT RN)—terbukti menyuap Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting. Suap diberikan agar proyek tak perlu melalui seleksi ketat dan langsung jatuh ke tangan mereka.
Modusnya sistematis: Topan dan kroninya merekayasa proses di e-katalog, termasuk mengatur waktu tayang lelang agar tak menimbulkan kecurigaan. Hasilnya, dua perusahaan itu menang tender dalam waktu hampir bersamaan, menegaskan adanya praktik pengaturan pemenang sejak awal.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Yuris Rezha Kurniawan, menilai pengawasan tak boleh hanya mengandalkan digitalisasi. Ia menekankan perlunya pengawasan langsung terhadap relasi informal antara pejabat dan rekanan proyek. “Sistem bisa diretas dengan pertemuan gelap. Tanpa kontrol manusiawi, korupsi tetap lolos,” ujarnya.
Kasus Sumatera Utara kembali menegaskan bahwa proyek infrastruktur adalah tambang korupsi yang disamarkan sebagai pembangunan. E-katalog tanpa integritas hanyalah formalitas digital. Ketika kekuasaan, uang, dan kelemahan akuntabilitas berpadu, korupsi tak lagi butuh sembunyi—ia justru dilegalkan oleh sistem yang rapuh. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”