LOCUSONLINE, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat kejutan konstitusional. Dalam putusan terbarunya, MK memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal mulai 2029, seolah-olah republik ini lebih butuh dua kali pemilu ketimbang satu kali yang rapi. Putusan yang disebut tidak membatalkan pemilu sebelumnya ini justru menimbulkan riak-riak hukum, politik, hingga ke urusan anggaran negara. Selasa, 8 Juli 2025
Konsep “keserentakan” yang selama ini dimaknai sebagai pelaksanaan pemilu dalam satu waktu, kini dirombak menjadi “serentak terpisah”—sebuah istilah baru yang secara logika hukum bisa menyaingi filsafat Schrödinger: pemilu yang serentak sekaligus tidak serentak.
MK menyatakan pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) akan dilaksanakan lebih dulu, sementara pemilu lokal (DPRD dan kepala daerah) menyusul 2 hingga 2,5 tahun kemudian. Artinya, rakyat akan diajak ke bilik suara dua kali dalam satu periode pemerintahan—karena satu kali demokrasi dianggap belum cukup.
Menko Polhukam Budi Gunawan tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Menurutnya, pemisahan ini akan memicu efek domino: dari tata kelola hingga pembengkakan anggaran.
“Risikonya banyak. Regulasi berubah, jadwal geser, APBN bisa bolong,” katanya, sambil menyiratkan bahwa konsekuensi logis putusan ini lebih dari sekadar keputusan yudisial.
Lebih tajam lagi, Menko Kumham Yusril Ihza Mahendra menuding bahwa jeda antara pemilu nasional dan lokal berpotensi melanggar UUD 1945. Pasal 22E jelas menyebut pemilu harus digelar setiap lima tahun sekali. Namun dengan skema baru, bisa saja ada jabatan DPRD yang diperpanjang di luar mandat rakyat.
