LOCUSONLINE, BANDUNG — Di tengah gebrakan ala “darurat pendidikan” yang digaungkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, para guru swasta mulai menghitung ulang nasibnya. Kebijakan menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 orang tampaknya tak hanya menampung siswa miskin, tapi juga menggusur harapan sekolah swasta bertahan hidup. Selasa, 8 Juli 2025
Tak tanggung-tanggung, efek dari kebijakan “kelas jumbo” ini langsung terasa. Salah satu korban awal: SMA Pendidikan Membangun Bangsa (PMB) di Arcamanik, Kota Bandung. Di awal tahun ajaran baru, mereka hanya berhasil menjaring 12 calon siswa—jumlah yang bahkan belum cukup untuk membentuk satu kelas, apalagi dua.
“Seperti membunuh pelan-pelan,” ujar Nurlaela, Kepala SMA PMB. Bukan hanya soal minimnya murid, tetapi juga ketidakmungkinan guru-guru bersertifikasi memenuhi jam kerja minimal 24 jam per minggu. Pasalnya, dalam satu kelas yang kosong, tak ada pelajaran yang bisa diajarkan, dan tugas ekstrakurikuler yang biasanya menambal jam pun hanya dihitung dua jam.
Enam guru bersertifikasi di sekolah ini kini terancam menjadi pengajar tanpa kelas. Solusi mereka? Berburu jam tambahan di sekolah swasta lain—yang ternyata bernasib sama. Dengan siswa yang makin langka dan jam mengajar yang kian tipis, guru bersertifikat kini seperti buruh harian lepas dalam sistem pendidikan negeri.
Dugaan bahwa kebijakan rombel jumbo berdampak langsung terhadap pendaftaran siswa di sekolah swasta bukan isapan jempol. Tahun lalu, SMA PMB masih bisa membuka dua rombel. Tahun ini, bahkan satu pun tak penuh. Nurlaela menyebut ini sebagai “pemadaman bertahap terhadap pendidikan swasta.”
