Sementara itu, di sisi lain, Gubernur Dedi Mulyadi tampil sebagai penyelamat anak bangsa yang tak ingin “anak-anak nongkrong di pinggir jalan.” Dalam pidatonya, Dedi menegaskan bahwa menampung lebih banyak siswa dalam satu kelas adalah bentuk tanggung jawab negara atas pendidikan rakyatnya, meskipun konsekuensinya adalah ruang belajar sesak dan guru kekurangan oksigen pedagogik.
“Lebih baik anak sekolah walau berdesakan daripada tidak sekolah sama sekali,” kata Dedi, seolah kapasitas ruang belajar tak ada batasnya. Ia menyebut ini sebagai kebijakan darurat—sebuah langkah taktis menghadapi angka putus sekolah Jabar yang mencapai lebih dari 650 ribu anak per data BPS November 2024.
Tentu, niat menurunkan angka putus sekolah patut diapresiasi. Namun, apakah solusinya harus mematikan sekolah swasta? Apakah kebijakan pro-rakyat harus mengorbankan lembaga pendidikan yang selama ini menopang kekurangan kapasitas negara?
Tak hanya kualitas pendidikan yang dipertaruhkan, tapi juga nasib ribuan guru swasta yang menggantungkan penghidupan mereka pada jumlah siswa yang masuk. Ironisnya, di tengah kampanye efisiensi dan pemerataan pendidikan, sekolah swasta justru dibiarkan tenggelam tanpa pelampung.
Kebijakan Gubernur Dedi mungkin berhasil menurunkan angka putus sekolah di atas kertas. Tapi di lapangan, ia menciptakan kompetisi yang timpang antara sekolah negeri yang disubsidi dan sekolah swasta yang harus bertahan dari biaya operasional, gaji guru, dan jumlah siswa yang menipis. Di tengah itu semua, kualitas pendidikan makin kabur, tertutup oleh upaya pemenuhan kuota kursi.
