LOCUSONLINE, GARUT – Sudah lebih dari setengah abad, Perguruan Tinggi di Indonesia tetap bersetia pada satu ritual tahunan yang seolah keramat: Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program yang dulunya dipuji karena berhasil mengawal swasembada pangan nasional, kini kian terasa seperti template usang yang dipaksakan hidup di zaman TikTok dan Google Maps.
Diluncurkan pada akhir 1960-an, KKN lahir sebagai bagian dari strategi Orde Baru dalam menyebarkan teknologi pertanian dan mengangkat ekonomi desa. Kala itu, mahasiswa adalah “malaikat berjaket almamater” yang datang membawa informasi langka di tengah keterbatasan infrastruktur, akses informasi, dan literasi.
Namun kini, ketika anak petani pun bisa mengakses YouTube untuk belajar teknik hidroponik dari Korea Selatan, peran mahasiswa KKN perlahan bergeser dari agen perubahan menjadi simbol seremonial. Mereka datang, mereka presentasi, mereka mengecat gapura yang sudah dicat tiga tahun lalu, lalu pulang membawa laporan dan foto untuk feed Instagram kampus.
Sementara pihak kampus masih bertahan dengan asumsi bahwa KKN adalah “jembatan antara dunia akademik dan realitas sosial”, masyarakat di lapangan mulai menunjukkan gejala kelelahan partisipatif. Apatisme kultural menjalar: mulai dari perangkat desa yang enggan hadir saat serah terima, hingga warga yang malas ikut gotong royong karena tahu hasilnya akan masuk laporan tapi tidak menyentuh kebutuhan konkret mereka.
Baca Juga :
Ketika Mahasiswa Harus Mengajari Birokrasi Cara Melayani: Garut ‘Outsourcing’ Solusi ke Kampus
Selamat Datang di Sekolah Versi 06.30: Lebih Pagi, Lebih Disiplin, dan (semoga) Tetap Waras
Masyarakat menginginkan solusi nyata: sanitasi, akses air bersih, atau revitalisasi pertanian. Tapi mahasiswa datang dengan power point dan program pelatihan daur ulang yang sudah pernah digelar tiga tahun lalu. Tidak salah bila publik mulai bertanya, masih relevankah KKN, atau kini justru menjadi beban sosial yang dibungkus idealisme akademik?
