“Biasanya bisa dapat limpahan 20 orang, sekarang 6 saja sudah syukur,” ujarnya.
Gubernur Dedi punya alasan tersendiri untuk kebijakan “rombel super padat” ini. Dalam pernyataannya, ia menyebut keadaan sedang darurat.
“Lebih baik anak-anak berdesakan di kelas daripada nongkrong di pinggir jalan,” katanya, seolah menyamakan pendidikan dengan pilihan antara bus kota dan warung kopi.
Menurut Dedi, negara wajib menyediakan akses pendidikan, meski kualitasnya jadi persoalan sekunder. Asal jangan ada remaja yang “tidak sesuai usia” nongkrong, maka misi pendidikan dianggap sukses. Sayangnya, nasib sekolah swasta tidak termasuk dalam logika darurat ini.
Kondisi SMA/SMK Pasundan 2 kini menjadi potret kegagalan perencanaan pendidikan yang lebih mementingkan kuantitas daripada keberlanjutan ekosistem. Para guru swasta, staf, dan yayasan, kini hanya bisa menggantungkan harapan pada limpahan siswa seperti menunggu hujan turun di musim kemarau.
“Sekolah negeri boleh ramai, tapi sekolah swasta jangan dibiarkan mati perlahan,” tutup Darus lirih.
Sementara itu, rombel 50 tetap dijalankan, demi menyelamatkan generasi dari nongkrong. Meski mungkin nanti, mereka nongkrong juga—di kelas—karena terlalu penuh untuk belajar dengan tenang. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”