LOCUSONLINE, JAKARTA — Jika Anda masih merasa miskin meski sudah makan nasi dua kali sehari dan punya motor tua, bisa jadi Anda hanya bermiskin ria setidaknya menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga negara ini kembali menetapkan bahwa seseorang tergolong miskin jika pengeluarannya di bawah Rp609.160 per bulan, alias Rp20.305 per hari. Ya, dua lembar pecahan merah bisa jadi tiket Anda keluar dari statistik kemiskinan nasional. Senin, 28 Juli 2025
Tak pelak, kalangan ekonom menanggapi angka ini dengan geleng kepala dan tawa getir. Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, bahkan menyebut standar tersebut terlalu absurd untuk menyentuh realitas.
“Kalau Rp20 ribu itu jadi patokan, ya wajar kalau angka kemiskinan terlihat turun. Tapi itu bukan karena rakyat makin sejahtera melainkan karena standarnya dibuat makin ketinggalan zaman,” sindir Tauhid.
Ia menambahkan bahwa seharusnya pengukuran mengikuti perkembangan konsumsi nyata. Karena kini, kata dia, bahkan orang yang digolongkan miskin pun punya motor, ponsel pintar, dan tagihan kuota internet. Tapi ya, itu semua tampaknya tidak masuk radar perhitungan BPS yang masih hidup di era statistik Orde Baru.
“Sejak 1998 kayaknya belum banyak berubah. Boro-boro pulsa, mungkin beli gas melon saja sudah mengacaukan asumsi BPS soal siapa yang miskin,” tambahnya.
Baca Juga : Rp 20 Ribu Sehari, Bebas Miskin Ala BPS: Makan, Minum, Hidup, Tertawa
Lebih lanjut, Direktur Celios Media Wahyudi Askar juga turut menguliti metodologi BPS yang dianggap “separuh realita, separuh angan-angan.” Menurutnya, pemerintah terlalu selektif memilih data yang ‘menyenangkan’, meski tak mencerminkan kenyataan di lapangan.
“BPS seperti sedang menyisir pasir dengan garpu. Metodologinya lemah, variabelnya tak berubah, dan kenyataan ekonomi rakyat hanya jadi dekorasi narasi,” kritik Media.
Untuk catatan, World Bank baru-baru ini mencatat bahwa 68 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global. Bandingkan dengan klaim BPS bahwa hanya 8,57 persen rakyat yang miskin. Gap sebesar delapan kali lipat ini, menurut para pakar, tak bisa lagi diselamatkan dengan alasan perbedaan metodologi.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”