LOCUSONLINE, JAKARTA – Koperasi Merah Putih di desa dan kelurahan kini resmi boleh berutang hingga Rp3 miliar, dan bukan dari pinjaman rentenir, tapi dari skema negara yang dibungkus manis lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi karpet merah bagi koperasi untuk ikut dalam pesta utang, asalkan membawa proposal lengkap dan stempel persetujuan dari kepala desa atau wali kota. Senin, 28 Juli 2025
Syaratnya sederhana: cukup jadi koperasi legal, punya nomor pokok pajak, rekening bank, dan sedikit kemampuan membuat proposal berisi rencana bisnis yang terdengar manis di atas kertas. Soal kemampuan mengembalikan? Nanti bisa dibantu Dana Desa atau Dana Bagi Hasil, kalau-kalau koperasi tak sanggup membayar angsuran.
Karena utang yang gagal dibayar bukan masalah koperasi semata, tapi bisa jadi urusan APBN juga.
Berdasarkan aturan, pinjaman ini bisa digunakan untuk segala jenis kegiatan yang tampak produktif: dari pengadaan sembako, simpan-pinjam, hingga pergudangan dan klinik desa. Tapi, dalam praktiknya, siapa bisa menjamin uang Rp3 miliar itu tak malah berakhir jadi baliho, rapat seremonial, dan pengadaan barang yang tak pernah tiba?
Skema bunga 6 persen per tahun tampak ramah di permukaan. Tapi dengan masa tenggang enam bulan dan tenor hingga 72 bulan, desa-desa yang belum punya kapasitas manajemen keuangan pun bisa jadi korban sistem kredit top-down yang berlabel ‘kemandirian ekonomi’.
Dan jika ternyata koperasi gagal bayar, seperti yang disiapkan Pasal 11: negara siap pasang badan. Bank tinggal melayangkan surat ke Kementerian Keuangan agar kekurangan angsuran ditutup pakai dana desa. Jadi, bukan koperasinya yang rugi tapi rakyat yang sebenarnya sedang menabung masa depan dari dana itu.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”