“Pajak digital ini sah, tapi jangan sampai mengerdilkan pelaku UMKM yang jadi tulang punggung ekonomi hanya karena mereka mudah ditemukan, mudah ditarik, dan tidak bisa lari”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Setelah sukses mengejar pajak dari warteg, sembako digital, dan pulsa rakyat jelata, kini giliran pedagang online yang mendapat ‘kehormatan’ untuk berkontribusi langsung pada kas negara. Melalui kebijakan yang diklaim ‘bukan kewajiban baru’, pemerintah resmi mengatur pemajakan bagi penjual daring yang menggantungkan hidup dari checkout Shopee hingga Tokopedia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya buka suara soal ini, seolah ingin meluruskan kekhawatiran publik: Tenang saja, pajaknya kecil kok cuma 0,5 persen dari peredaran bruto. Bukan pajak baru, hanya pajak yang dibungkus rapi agar terasa tidak memberatkan, tapi tetap menyumbang.
“Ini demi kepastian hukum dan kemudahan administrasi,” ujar Sri Mulyani di sela Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK III 2025 di Kantor LPS, Jakarta Selatan, Senin (28/7). Kalimat sakti yang biasa muncul saat negara ingin menyentuh kantong rakyat secara legal.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan kawan-kawan kini berubah fungsi menjadi pemungut pajak. Para pedagang online yang omzetnya tembus Rp500 juta per tahun otomatis masuk radar. Nilainya diambil dari peredaran bruto, alias pendapatan kotor sebelum diskon, sebelum refund, sebelum cashback.
Baca Juga : Belanja Jalan Terus, Penerimaan Nanti Dulu: RAPBN 2026 dan Jurus Sulap Fiskal
WTP Sri Mulyani: Warna Terang Panggung, Bukan Wajah Transparansi
Bukan hanya itu, para pedagang juga diwajibkan melapor sendiri peredaran brutonya. Mirip seperti mengatakan: Kami butuh uangmu, tapi kamu harus jujur dulu seberapa banyak kamu dapat.
“Tidak ada kewajiban baru,” tegas Sri Mulyani. Sebuah pernyataan yang bisa diartikan bebas tergantung posisi apakah Anda duduk di kursi menteri atau sedang packing paket tengah malam demi rating toko.
Shopee, Tokopedia, dan marketplace lainnya kini sah menjadi perpanjangan tangan negara. Mereka tak cuma memfasilitasi jual beli, tapi juga menjadi eksekutor pemungutan pajak. Pasal 7 ayat (3) dalam PMK 37/2025 mengatur detail waktu dan cara pemungutan setelah surat pernyataan pedagang diterima. Sebuah sistem yang terlihat rapi, tapi berpotensi menjadi tambahan beban administratif bagi pelaku UMKM digital.
Pertanyaannya sederhana: Mengapa bukan korporasi raksasa atau elite pengemplang pajak yang lebih dulu disisir? Mengapa negara tampak lebih sigap ketika menagih dari pedagang rumahan yang sedang berjuang bertahan dari maraknya barang impor murah dan ongkir subsidi?
Mungkin karena pedagang kecil lebih mudah dijangkau selalu aktif online, jarang punya pengacara pajak, dan tidak punya opsi menyembunyikan uang di luar negeri.
Dalam era digital, saat setiap klik bisa dimonetisasi, negara tampaknya juga tak mau ketinggalan. Pajak 0,5 persen mungkin terdengar kecil, tapi dampaknya terasa besar ketika diterapkan pada pedagang yang masih bertarung melawan algoritma, rating bintang tiga, dan pembeli yang suka PHP. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”