“Gratis, loh. Cek tensi, cek gizi, cek mental, semuanya. Lengkap,” kata Putri seolah satu kali cek bisa menyembuhkan beban hidup dari tekanan nilai, ekspektasi orang tua, dan harga skincare yang makin mahal.
Kepala Dinas Kesehatan Garut, dr. Leli Yuliani, menerangkan bahwa program ini dijalankan secara menyeluruh di sekolah-sekolah selama tiga bulan. Skrining kesehatan yang dilakukan memang terdengar lengkap dari deteksi anemia hingga skrining TBC dan Penyakit Tidak Menular (PTM).
Namun, jika program ini sekadar berhenti pada deteksi dan tak ada tindak lanjut untuk penanganan jangka panjang, bukankah ini seperti memotret luka tanpa menyediakan plester?
Dinas Kesehatan mengklaim menggandeng lintas sektor dan mengajak orang tua siswa terlibat. Tapi dalam banyak kasus bullying atau depresi siswa, justru yang muncul adalah diamnya pihak sekolah, minimnya konselor, dan ketiadaan sistem pelaporan yang aman dan terpercaya.
Kegiatan ini, jika dilihat dari permukaan, tentu patut diapresiasi. Tapi jika “stop bullying” hanya berakhir sebagai spanduk dan “cek kesehatan gratis” tak lebih dari sesi dokumentasi untuk unggahan media sosial, maka acara seperti ini hanya menambal lubang tanpa menyentuh akar.(Suradi/Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”