Mungkin karena angka Rp2,48 triliun memang terdengar suci di telinga politisi.
Rapat ditutup tanpa interupsi berarti. Tak ada debat panas, tak ada mikrofon yang dipukul, hanya suara ketok palu dan tepuk tangan ringan. Di luar ruang sidang, langit Purwakarta sedikit mendung seolah ikut menimbang, apakah persetujuan cepat itu tanda efisiensi, atau sekadar efisiensi tanpa perdebatan.
Yang jelas, Om Zein telah menunaikan tugasnya. Duka boleh membayang, tapi RAPBD tetap berjalan. Karena, sebagaimana adagium lama politik Purwakarta: anggaran tidak mengenal jeda duka. (Laela)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”












