LOCUSONLINE, JAKARTA – Perundungan kini bukan lagi isu pinggiran; ia sudah naik kasta jadi rutinitas nasional. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.052 pelanggaran hak anak sepanjang 2025. Yang bikin alis naik: 165 kasus justru terjadi di tempat yang katanya “zona aman” sekolah. Dari jumlah itu, 26 anak memilih jalan paling sunyi: mengakhiri hidup. Ada yang menggantung diri di sekolah, ada yang menyerah di rumah sendiri. Negeri ini gagal menjaga anak, tapi lihai membaca doa bersama-sama setelah tragedi.
Melansir berita KOMPAS.com. Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menyebut sepertiga kasus bunuh diri terjadi di satuan pendidikan. Dalam dua bulan terakhir saja, enam anak meninggal. Belum cukup, publik juga digegerkan ledakan bom di SMAN 72 Jakarta Utara. Semua benang merah mengarah pada kata yang sama “bullying” yang terus dibiarkan tumbuh seperti gulma di tanah pendidikan.
Aris menyebut mitigasi selama ini seperti pemadam kebakaran: datang setelah api jadi arang. Layanan konseling muncul bukan saat anak tersiksa, tapi ketika korban sudah masuk headline.
Salah satu solusi yang ia sodorkan adalah menghidupkan kembali Satgas Daerah untuk pencegahan kekerasan di sekolah. Satgas yang, jujur saja, lebih sering difungsikan sebagai foto di spanduk daripada garda depan pencegahan.
Rapat koordinasi memanas ketika Aris mulai menyinggung platform digital sebagai salah satu mesin percepatan perundungan. Ia mendesak guru memberi literasi digital dan menindak tegas siswa yang “nyasar” dalam penggunaan internet. Menurutnya, gadget tanpa literasi malah jadi senjata makan tuan. Anak-anak ini terseret ke konten ekstrem seperti pelaku ledakan SMAN 72 yang belajar merakit bom dari deep web.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














