[locusonline.co, JAKARTA] – Di balik gemerlap janji pemerintah untuk menyediakan rumah bersubsidi, ada dinding tak kasat mata yang menghalangi jutaan mimpi keluarga Indonesia. Dinding itu bernama Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Kini, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, dengan geram mengangkat suara, meminta agar dinding penghalang tersebut “dirubuhkan” untuk rakyat.
Frustrasi melihat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang sudah mendaftar justru terjebak dan gagal mendapat rumah, Maruarar melontarkan permintaan blak-blakan dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI.
“Dalam rapat dua hari lalu dengan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan dengan juga OJK, saya sudah minta supaya SLIK OJK itu dihapuskan,” kata Maruarar, yang kerap disapa Ara ini, dengan nada tegas.
“Kenapa saya mengatakan seperti itu? Karena memang kebetulan kami sering turun ke lapangan. Kalau kami bertanya kepada konsumen, juga kepada pengembang, itulah masalahnya,” tegasnya, mengungkapkan bahwa ia sudah berulang kali menyuarakan hal ini ke berbagai pihak, namun belum ada solusi konkret.
Drama di Balik Angka Penolakan

Permintaan Maruarar bukan tanpa alasan. Para pengembang real estate, melalui Ketua Umum REI (Real Estat Indonesia) Joko Suranto, sudah mengungkapkan fakta mengerikan di lapangan. Tingkat persetujuan kredit (approval rate) perbankan saat ini hanya menyentuh angka 30-35%.
Artinya, dari 10 orang yang mengajukan KPR, hanya 3 atau 4 orang yang lolos. Sisanya? Ditolak. Salah satu penyebab utamanya adalah catatan buruk di SLIK.
Fenomena ini, menurut Joko, adalah efek domino dari pandemi. Banyak masyarakat yang terjebak dalam pinjaman online (pinjol) ilegal yang tidak transparan, menyebabkan mereka menunggak dan namanya masuk daftar hitam. Akibatnya, meski mereka ingin memulai lembaran baru dengan KPR bersubsidi yang lebih sehat, masa lalu mereka terus menghantui.
OJK: Tangan Kami Terbatas
Merespons keluhan Maruarar, OJK melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan posisi mereka. Menurut Dian, hak OJK sebatas memberikan surat rekomendasi kepada bank penyalur untuk memberikan keringanan.
“Memang maksimal OJK itu bisa membuat surat kepada bank, itu posisinya,” ujar Dian, mengindikasikan bahwa OJK tidak bisa memaksa bank untuk menyetujui kredit jika penilaian risiko bank tersebut menyatakan calon nasabah tidak layak.
Ini adalah jalan buntu. Di satu sisi, pemerintah ingin program rumah subsidi jalan. Di sisi lain, bank sebagai lembaga komersial punya penilaian risiko sendiri yang berlandaskan data historis, dan SLIK adalah bagian penting dari data tersebut.
Gagasan Menteri Keuangan yang Sempat Muncul dan Hilang
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhia Sadewa, sempat mewacanakan solusi yang lebih radikal: menghapus data nasabah yang memiliki tunggakan di bawah Rp 1 juta.
Namun, rencana tersebut cepat diurungkan. Pasalnya, setelah ditelusur lebih lanjut, data yang ditemukan tidak selaras dengan kenyataan di lapangan.
“Jadi saya pikir… dari 110.000 (data) itu paling yang bisa masuk 100 orang. Jadi sepertinya menclearkan namanya dari SLIK tidak akan memecahkan masalah demand untuk perumahan yang dibuat Tapera sama Pak Ara (Menteri PKP),” tutur Purbaya, menjelaskan bahwa masalahnya jauh lebih kompleks dari sekadar membersihkan data.
Saat ini, masyarakat yang terganjal SLIK hanya bisa berharap pada “belas kasihan” dari bank penyalur, atau terus mencoba mengajukan ke berbagai bank dengan harapan ada yang memberikan keringanan. Sementara itu, antrian untuk mendapatkan rumah subsidi semakin panjang, dan mimpi untuk memiliki atap sendiri kian jauh dari kenyataan. (**)















