[Locusonline.co, Bandung] — Di Kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batununggal, kata “Siskamling” tak lagi sekadar tentang ronda malam. Sejak akhir 2024, forum “Siskamling Siaga Bencana” telah menjelma menjadi ruang pengaduan warga yang frustrasi. Saat edisi ke-51 digelar pada Jumat, 12 November 2025, keluhan yang terlontar adalah narasi lama yang tak kunjung usai: drainase macet, genangan air, dan banjir yang mengancam setiap kali langit mendung.
“Drainase kami sudah seperti orang kenyang dipaksa makan lagi, Pak Lurah. Hujan deras sedikit, langsung muntah ke jalan,” protes seorang warga RW 11, menggambarkan saluran yang tak lagi sanggup menampung debit air. Lurah Gumuruh, E. Sirojudin, hanya bisa mengangguk. Ia tahu betul bahwa RW 11 adalah prioritas utama. Program “Prakarsa 2025” untuk wilayah itu pun sudah dialokasikan seluruhnya untuk satu tujuan: membangun drainase baru.
Peta Keluhan: Dari Sungai Sampai Sampah yang Tak Pernah Rampung
Daftar keluhan yang masuk ke forum Siskamling itu seperti peta mikro dari masalah makro Kota Bandung:
- RW 08: Kawasan sepadan sungai rutin kebanjiran.
- RW 10: Saluran di RT 01 dan RT 03 tersumbat kronis.
- RW 12: Meski genangan surut dalam 1-2 jam, tapi banjir tetap datang.
Respons dari Balai Kota datang cepat. Wali Kota Bandung Muhammad Farhan langsung menginstruksikan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk turun ke lapangan pada hari yang sama, lengkap dengan instruksi khusus untuk mengecek Penerangan Jalan Umum (PJU) di RW 07. Sebuah respons yang terkesan sigap, namun bagi sebagian warga yang telah puluhan tahun menghadapi banjir tahunan, langkah ini seperti deja vu yang tak membawa perubahan berarti.
Kontras yang Menyayat: Respons Cepat vs Solusi Struktural yang Mandek
Di tengah upaya warga Gumuruh memperbaiki saluran lingkungannya, sebuah ironi besar terjadi di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Hanya berselang tiga minggu setelah pertemuan di Gumuruh, pada 5 Desember 2025, hujan deras memicu bencana besar. 14 kecamatan di Kabupaten Bandung terendam banjir dan longsor, memaksa Pemkab Bandung menetapkan status tanggap darurat hingga 19 Desember 2025.
Bencana ini memaksa pemerintah membuka mata. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan lantang menyebut rusaknya tata ruang sebagai akar masalah banjir berulang. Ia mengkritik keras praktik pemberian izin perumahan yang menguruk daerah aliran sungai dan rawa, serta alih fungsi lahan di hulu yang masif. “Kalau kita tidak mengembalikan fungsi ruang hijau… saya jamin 2-3 tahun ke depan kalau hujan melanda, Bandung akan tenggelam,” tegas Dedi dalam sebuah pernyataan tegas.Level Pemerintahan Tindakan yang Dilakukan Sifat Kebijakan Provinsi Jabar Moratorium izin perumahan di Bandung Raya, penutupan tambang ilegal di lereng gunung, fokus normalisasi sungai dari hulu. Struktural & Jangka Panjang Kabupaten Bandung Menetapkan status tanggap darurat, menyalurkan bantuan logistik, memulai proyek pengendalian banjir yang sudah dianggarkan. Darurat & Jangka Menengah Kota Bandung (Pemkot) Merespons positif moratorium provinsi, menginstruksikan OPD turun ke lokasi keluhan warga (contoh: Gumuruh). Responsif & Jangka Pendek
Moratorium izin perumahan di lima wilayah Bandung Raya pun diterbitkan. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyatakan dukungan penuh dan siap memberikan sanksi tegas kepada pelanggar. Di tingkat provinsi, Gubernur Dedi Mulyadi bahkan mulai menutup permanen tambang-tambang di lereng gunung yang berisiko tinggi.
Namun, langkah-langkah struktural “besar” ini seperti berada di alam yang berbeda dengan realitas warga Gumuruh. Sementara Gubernur berbicara tentang normalisasi sungai dari hulu hingga hilir yang membutuhkan koordinasi lintas wilayah dan waktu lama, warga di RW 11 hanya membutuhkan saluran drainase yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan dari atap rumah mereka. Mereka bertanya, apakah moratorium izin perumahan baru akan mengeringkan genangan yang sudah bertahun-tahun mengganggu depan rumah mereka?
Kolaborasi atau Pencitraan? Teknologi vs Birokrasi
Pemkot Bandung sebenarnya memiliki alat canggih untuk mengatasi keluhan seperti di Gumuruh: Laci RW, sistem pelaporan digital yang memungkinkan warga melaporkan masalah langsung melalui RT/RW. Lurah Sirojudin mengaku sistem ini sangat membantu, dengan 46% pertanyaan warga dijawab langsung oleh pengurus RT, mempercepat identifikasi masalah.
Namun, teknologi ini hanya sebatas alat pelapor. Setelah laporan masuk dan OPD turun untuk survei—seperti yang terjadi di Gumuruh—jalan berliku birokrasi, anggaran, dan lelang proyek masih harus dilalui. Prosesnya bisa memakan waktu berbulan-bulan, sementara musim hujan hanya berjarak hitungan minggu.
Inilah paradoks yang dihadapi: di satu sisi, ada kemajuan teknologi dan respons cepat di level tapak. Di sisi lain, terdapat birokrasi yang lamban dan kebijakan makro yang meski visioner, terasa jauh dari tanah basah di gang-gang sempit Gumuruh.
Lalu, Akankah Gumuruh Tetap Tenggelam?
Pertanyaan terbesar kini menggantung: akankah kolaborasi warga melalui Siskamling Siaga Bencana dan respons cepat Pemkot lewat Laci RW cukup untuk menyelamatkan Gumuruh dari banjir tahun depan? Ataukah, langkah-langkah struktural dari provinsi dan kabupaten—seperti moratorium dan normalisasi sungai—yang butuh waktu tahunan untuk berdampak, justru akan datang terlambat?
Yang jelas, semangat warga Gumuruh tidak padam. Mereka terus berinovasi dengan sistem patroli siaga dan pelaporan digital. Sementara itu, di tingkat elite pemerintah, wacana penataan ruang dan moratorium terus bergulir. Dua dunia ini harus segera bertemu pada satu titik: pengeringan konkrit genangan di RW 11, bukan sekadar wacana di atas kertas. Jika tidak, Siskamling Siaga Bencana edisi ke-52, ke-53, dan seterusnya, hanya akan menjadi ritual tahunan tempat warga melaporkan masalah yang sama, sambil berharap kali ini pemerintah tidak sekadar “turun tangan”, tetapi benar-benar “menyelesaikan masalah”.













